Friday 21 December 2018

FF Ongniel Wanna One : Serenity [PART 17]

Annyeonghaseyoo wannabel diseluruh belahan dunia~

Mau curhat dulu. Kali ini curhatnya ngenes nes nes nes baaanget.

jadi sebenernya aku tuh udah bikin FF serenity ini SAMPAI END beberapa bulan lalu. Maunya aku publis 1 FF setiap minggu TAAAAPIIII setelah aku ngeposting satu FF, tiba-tiba BOOM!

LAPTOPKU KENA VIRUS DAN SEMUA DATA HILANG.

SEMUA DATA HILANG.

HILANG GAYS HILANG!!

AAAAAAA~

*Mau nangis dipelukan Ong aja rasanya*

Jadi semua datanya itu udh bener2 corrupt dan ngga ada satu carapun selain nge install ulang laptop. Mau aku pertahanin juga ga bisa soalnya semua file udh berubah jadi virus dan... akhirnya aku hapus bersih semuanya. Ini virusnya saking bandelnya aku sampe harus 2x instal ulang. *dua kali juga rasa sakit yang harus aku tanggung.* hikss

Awalnya aku udh prepare beberapa bulan lalu soalnya aku mau nyelesain FF ini sebelum wannaone bubar (which is akhir bulan ini). Tapi kog ya ada halangan... jadi aku pelan pelan deh. semoga bisa ya hahaha

Part ini lumayan ringan dan ngga perlu nginget2 part sebelumnya kog wkwkwk.

Langsung aja deh buat semuanya, selamat membaca!


Serenity [Part 17]


* btw semua cover serenity yang aku buat juga ilang ;( jadi ini cuman ambil dr part sebelumnya*





                Awal musim dingin hari ini tampak bersahabat menyambut pagi Jihyun yang terlihat sibuk dengan aneka property disebuah sudut ruangan bernuansa modern-classic. Berbeda dari minggu-minggu sebelumnya, variety show yang Jihyun kerjakan kali ini tengah mengadakan Guerella Date. Yaitu kegiatan outdoor dengan melakukan perjalanan sembari singgah di beberapa tempat untuk menjalani sesi games.
                Dan Jihyun sengaja memilih Season Café sebagai salah satu tempat persinggahan acara yang tengah ia garap kali ini. Dengan senyuman yang merekah di wajahnya, tanpa sadar ia selalu melihat ke arah yang sama di sudut ruangan itu. Meskipun ia tengah sibuk mempersiapkan beberapa property keperluan shooting, atau tengah berbincang bersama dengan partner kerjanya, atau bahkan disaat ia memantau situasi melalui walkie talkie, Jihyun tidak pernah mengalihkan pandangannya seolah-olah objek yang berada disana merupakan pusat gravitasinya.
Objek itu adalah seorang barista dengan seragam coklat-hitam yang berdiri dibelakang meja kasir. Poni yang biasanya dibiarkan turun bebas kini tampak rapi melengkung ke samping. Bahkan wajahnya yang selalu terlihat lelah dengan kantung mata kehitaman berubah menjadi cerah karena sentuhan make up.
Jihyun terkekeh pelan melihat ekspresi namja itu sekarang. Selama Jihyun mengenalnya baru kali ini ia menemukan sosok itu tampak sangat gugup dengan kedua tangan yang tertaut didepan badan tingginya. Sorot matanya pun tidak pernah fokus, berulang kali berpindah mengikuti langkah beberapa crew yang sejak tadi berlalu lalang.
“Gwenchana Seongwu-ya. Semua pasti akan berjalan lancar.” Ucap Jihyun menghampiri Seongwoo sembari menepuk bahu kirinya. “Lakukan saja pekerjaan yang biasanya kau lakukan. Sisanya biar kami yang urus.”
Seongwoo hanya membalas ucapan Jihyun dengan senyuman. Beberapa saat setelah ia menyadari sesuatu, jemarinya kemudian bergerak meraih lengan kemeja milik Jihyun yang sebelumnya ia gulung asal-asalan. Perlahan-lahan Seongwoopun melepas gulungan kemeja itu dan kembali melipatnya dengan rapi.
“Aku akan melakukannya dengan baik. Nuna tidak perlu khawatir.” Ucapnya lalu tersenyum.
Jihyun tertegun sejenak. Bibirnya hampir saja bergerak sampai suara seniornya Minhyun terdengar memanggil nama Jihyun disaat yang bersamaan.
Dan tidak lama setelah itu tim dari Guerella Date memasuki café dimana Seongwoo bekerja. Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan sebelumnya, Seongwoo (sebagai karyawan di café ini) akan menjadi guest dadakan dan mengikuti games bersama dengan bintang tamu. Karena itulah sejak tadi pagi Seongwoo tampak gugup.
Namun diluar dugaan, selama shooting Seongwoo justru melakukan tugasnya dengan sangat baik. Ia tidak hanya mampu mencairkan suasana dengan lelucon garing, tapi juga memancing obrolan dengan jawaban-jawaban lugunya. Seongwoo tampak begitu berusaha memenangkan games meskipun pada akhirnya ia kalah karena tubuh kurusnya tidak mengikuti keinginannya.
“Terimakasih Seongwoo-ssi. Kau melakukannya dengan sangat baik.” Puji Minhyun disaat kru shooting sudah meninggalkan Season Café, meninggalkan Minhyun dan Jihyun yang bertugas membereskan sisa property.
“A-anieyo, Minhyun-ssi. Senang bisa bekerja dengan kalian.” Jawabnya sembari reflek ikut membantu Minhyun yang tampak sibuk.
“Andwae-andwae. Ini sudah menjadi tugas kami.” Minhyun menolak bantuan Seongwoo dengan sopan. “Sebaiknya kau kembali melayani pelanggan karena sepertinya temanmu kewalahan.”
Seongwoo pun menoleh ke meja kasir, dan disana terlihat beberapa antrian seperti yang Minhyun ucapkan. Akhirnya Seongwoo pun meninggalkan Jihyun dan Minhyun untuk lebih dulu menyelesaikan tanggung jawabnya.
Sama seperti yang terjadi pada Jihyun sebelumnya, kali ini gejala itu berbalik menyerang Seongwoo. Sesibuk apapun ia berhadapan dengan mesin pembuat kopi, tatapannya tidak pernah lepas dari Jihyun yang kini sudah mulai serius mengamati hasil recording. Sesekali yeoja itu akan menyilakan poninya, sesekali pula ia akan menarik sejuntai rambutnya ke belakang telinga. Apapun yang Jihyun lakukan, maka ekor mata Seongwoo akan mengikutinya.
Melihat bagaimana keseriusan Jihyun saat bekerja memberikan kesan tersendiri bagi Seongwoo. Ia tidak pernah menemukan sisi Jihyun yang begitu focus akan suatu hal seperti sekarang. Tampaknya pekerjaan yang Jihyun pilih memang kegiatan yang benar-benar ingin ia habiskan sepanjang hidupnya. Tidak peduli dengan deadline yang selalu mengejar atau bahkan bencana yang sempat terjadi di Naejangsan, Jihyun tetap terlihat begitu mencintai pekerjaannya.
Dan seseorang yang menemani Jihyun disana seperti sebuah takdir yeoja itu. Jihyun tampak sangat serasi jika ia tengah bekerja dengan seniornya, Mihyun. Bagaimanapun juga julukan ‘Duo Hyun’ muncul bukan tanpa alasan. Mereka berdua memiliki ritme kerja yang sama sehingga tidak perlu bagi keduanya untuk saling mengingatkan akan suatu hal. Bahkan disaat membereskan bola, secara otomatis Jihyun dan Minhyun akan mengambil dua warna yang berbeda sehingga masing-masing keranjang akan penuh dengan warna yang sama.
Dengan semua kemungkinan itu, justru bukan perasaan janggal yang mengusik hati Seongwoo. Melainkan ia justru menemukan sesuatu yang membuat dirinya merasa lega.
Bahwa betapapun sibuknya seseorang yang sejak tadi ia perhatikan, ia tahu orang itupun diam-diam tengah memperhatikannya.
Senyum di wajah Seongwoo tetap tidak hilang bahkan disaat Jihyun sudah mengalihkan pandangan kea rah Minhyun yang mengajaknya berbicara. Meskipun rambut yeoja itu terlihat berantakan, kemejanya sudah sebagian keluar dari pinggang celananya dan ID card sudah tersampir tidak menentu ke belakang, namun satu yang Seongwoo ketahui, bahwa lengan kemejanya masih terlipat dengan sangat rapi karena Jihyun enggan merusaknya.
***
                “Hoaam~” Jihyun merenggangkan tubuhnya sambil menguap. Yeoja itu tampak kelelahan setelah membereskan property dan membawanya kembali ke gedung tempat ia bekerja.
                “Seongwu-ya~ aku lapar.” Keluhnya pada Seongwu yang menawarkan diri untuk membantu pekerjaan Jihyun sampai selesai.
                Seongwu membetulkan letak tas selempangnya sambil terus menyamakan langkah Jihyun di pinggiran trotoar, “Sebaiknya kita makan apa?”
                “Jjampong!” Jawab Jihyun cepat. Sudah lama sekali dia tidak makan makanan ‘langka’ itu. Selama Jihyun hidup dia hanya bisa memakan jjampong buatan ummanya karena jjampong yang dijual di pasaran selalu menggunakan udang. Dan malam ini entah kenapa tiba-tiba nama ‘jjampong’ terlintas dalam pikirannya.
                “Ah tidak. Lupakan.” Belum juga ada sepuluh detik Jihyun menyebutkan makanan itu, ia justru buru-buru meralatnya. “Bagaimana dengan jajangmyeon? Diseberang jalan sana ada jajangmyeon yang enak sekali. Kami biasa memesannya untuk makan malam di kantor.”
                “Jadi nuna mau jjampong atau jajangmyeon?
                “Jajangmyeon.” Jawabnya sambil nyengir.
                “Aku juga punya langganan jjampong yang enak.” Balas Seongwu santai. “Dan jika kuminta, sepertinya ahjumma disana bisa membuatkan jjampong khusus untuk nuna.”
                Langkah Jihyun terhenti. “Jinjja???”
                Dan disinilah mereka sekarang. Setelah menaiki bus sekitar 45 menit dari kantor Jihyun, mereka berhenti di halte kota Ansan, yaitu pusat perindustrian kota Seoul dimana terdapat begitu banyak pabrik-pabrik yang berkumpul dalam satu area. Jihyun tidak menyangka bahwa Seongwu memiliki ‘langganan’ tempat makan di area ini karena setau dia tempat ini bukanlah tempat yang akan dikunjungi seseorang di waktu luang. Bahkan untuk sampai di warung kecil ini, mereka harus berjalan sekitar 10 menit dari halte dan melewati gang-gang sempit yang punya banyak cabang. Jihyun sampai heran bagaimana Seongwu dengan mudahnya memilih gang-gang itu hingga tempat yang ia cari benar-benar muncul dihadapannya.
                “Wahh~”
                Dan semangkuk jjampong berisikan mie tebal yang kenyal beserta kerang hijau pun dengan cepat membuat tanda tanya di hati Jihyun menguap bersama kepulan-kepulan asap diatasnya.
                “Mashitta~ waah! Ini lebih enak daripada buatan umma.” Ucapnya setelah mencicipi jjampong ajaib itu. Ia tampak sangat takjub sampai-sampai berteriak ke arah dapur, “Gomawoyo ahjumma!”
                Ahjumma dengan celemek bermotif bunga itu tersenyum lebar. Melihat reaksi Jihyun saat menghabiskan makanan buatannya saja sudah membuat ia senang.
                Mengabaikan Jihyun yang makan dengan heboh diseberang meja, sebuah kenangan justru berkelebat dengan cepat dalam pikiran Seongwu. Seongwu baru menyadari bahwa setiap sudut tenda yang tampak lusuh serta aroma jjampong yang memenuhinya memiliki nilai magis tersendiri, sampai Seongwu bisa menghabiskan waktu 2x dalam dua puluh empat jam, tujuh hari dan empat minggu untuk makan di tempat ini kala itu. Kursi-kursi plastic yang begitu familiar bersinggungan akrab dengan meja kayu yang ujungnya sudah mulai keropos dimakan usia. Hanya satu hal yang berubah di mata Seongwu, yaitu rambut sang pemilik yang kini semakin memutih serta guratan wajahnya yang jelas terlihat.
                “Sudah lama tidak kemari, nak Seongwu. Beberapa tahun tidak bertemu, kau terlihat semakin tampan.” gurau ahjumma itu sambil memberikan Seongwu uang kembalian.
                “Bukankah ahjumma bilang aku tampan sejak dulu?”
Yeoja paruh baya itu langsung tertawa mendengar candaan Seongwu. “Ne~ Ne~ Yang jelas ahjumma senang bisa melihatmu tumbuh dengan baik.”
                Sebuah senyuman merekah di wajah Seongwu, “Lain kali aku akan mampir, ahjumma. Gamsahamnida!” Ucapnya kemudian meninggalkan sebuah tempat sederhana penuh kenangan itu.
                Dan sama seperti disaat mereka berjalan masuk melewati gang penuh dengan cabang, Seongwu pun dengan mudah menemukan jalan untuk kembali keluar. Selama perjalanan ia tidak mengucapkan sepatah katapun, sepertinya area di tempat itu jauh lebih menyita perhatiannya ketimbang segudang pertanyaan yang dengan jelas tersirat di wajah Jihyun.
                Kenapa Seongwu begitu mengetahui tempat ini?
Kenapa ia bisa sangat akrab dengan ahjuma pemilik kedai jjampong tadi?
Apakah Seongwu sering kesini sebelumnya?
                Jihyun berfikir sambil menunduk, tidak berani bertanya lebih dulu karena ia tahu Seongwu bukan tipikal seseorang yang suka dicampuri kehidupan pribadinya. Meski Jihyun sangat penasaran, ia memilih untuk tetap diam sampai mereka berdua duduk di halte untuk menunggu bus menuju apartemen.
                “Bus nomor 107, sekitar 10 menit lagi.” Ucap Jihyun melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Belum sempat Jihyun menaruhnya kembali di pangkuan, namun Seongwu lebih dulu mengaitkan jemarinya di tangan Jihyun dan memasukkannya pada saku jaket.
                “Bukankah itu sulit?” Tanya Seongwu yang membuat dahi Jihyun seketika berkerut.
                “Bukankah sulit jika harus menahan rasa ingin tahu?” Seongwu mengulangi kalimatnya sambil tersenyum pada Jihyun. Ia bisa membaca raut wajah gadis itu.
                Jihyun tidak bisa berkata apapun.
                “Dulu pabrik yang memiliki lantai paling tinggi itu adalah tempat dimana pertama kali aku bekerja di Seoul.” Ucap Seongwu menunjuk gedung yang tidak jauh dari gang tempat mereka tadi berjalan. “Waktu itu aku masih lulus sma dan aku bekerja disana sebagai buruh sekitar 2-3 tahun…”
                “…Aku memang belum berpengalaman dan tidak memiliki ketrampilan apapun. Namun pegawai disana memberikanku kesempatan untuk belajar sampai akhirnya aku bisa bertahan hidup seorang diri.” Ia diam sejenak. “Penghasilan buruh memang tidak terlalu besar, tapi…
                Jihyun mengeratkan pegangan tangannya di saku Seongwu, membuat Seongwu menghentikan kalimatnya dan menoleh ke arah yeoja itu.
                “Mian…” Jihyun berujar lirih. “Seharusnya aku tidak perlu ingin tahu.”
                Membuka masa lalu Seongwu sama saja dengan menaburkan garam pada luka di hati namja itu. Jihyun sudah tahu tidak ada yang bisa Seongwu kenang selain rasa sakit dan kesepian yang harus ditanggung oleh namja berumur belasan kala itu. Bahkan tidak cukup dengan kematian seluruh anggota keluarganya, Seongwu masih harus menanggung hutang yang mereka pikul.
                Dan sekarang bisa-bisanya Jihyun masih merasa ingin tahu?
                “Gwenchanayo nuna~ lagipula setelah itu aku berpindah-pindah pekerjaan sampai akhirnya bisa bertemu denganmu.” Jawabnya tidak ingin membuat Jihyun sedih. “Semua hal memang harus dimulai dengan perjuangan bukan?”
                Disusul sebuah senyuman yang terkembang di wajahnya. Seongwu mengatakan kalimat terakhir itu dengan sangat santai, seolah-olah masa lalunya memang bukan sesuatu yang besar. Bukan sesuatu yang bahkan hampir mengancam nyawanya dan bisa kembali sewaktu waktu.
                Meskipun Seongwu sudah berusaha menutupinya rapat-rapat, namun sorot mata penuh kepiluan itu tidak sanggup berbohong. Ingin rasanya Jihyun memeluk Seongwu demi membuat namja itu merasa nyaman, tapi sayangnya ia hanya mampu terdiam sampai sebuah bus berhenti didepan mereka dengan pintu depan yang terbuka lebar.
                Dan satu hal yang Jihyun rasakan saat itu adalah… bahwa tiba-tiba ia menyesal karena telah menginginkan semangkuk jjampong.
-To Be Continue-


No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...