*buka tirai* *nongol author bareng Onew*
Berdua : hallo readers dimanapun
berada, ketemu lagi di fuchsia part terakhir.
Author :
loh Onew bukannya di part kemaren kamu udah… *mikir*
Onew :
Itu kan di cerita, di kehidupan nyata aku masih setia nemenin author dong.
#gagalgombal
Author :
Hehehehe sip. Balik lagi ke topic utama. Gak kerasa akhirnya fuchsia nyampe di
part terakhir setelah sekitar 10 bulan eksis di FB author(?) sejak april 2012. Hohoho
Onew :
bener banget thor, part terakhir ini merupakan jawaban dari semua pertanyaan
part2 sebelumnya.
Author :
Yap, dan penyelesaian itu tidak harus rumit, tergantung dari cara berfikirnya
kan? Hihihi
Onew :
sebelum kit abaca, yuk intip part sebelumnya, cekidot>>>
- · “Pasien mengalami benturan keras dikepala yang membuat banyak syaraf di otaknya mengalami kerusakan. Detak jantung pasien juga sudah lemah sejak dibawa kemari. Kami telah berusaha semaksimal mungkin, sayangnya Tuhan berkehendak lain...”
- · Sulit dipercaya Onew pergi secepat ini setelah kurang dari dua jam yang lalu ia tersenyum dan berkata semua akan baik-baik saja seolah-olah yang terjadi akan berakhir dengan indah.
- · Setelah diadakan kebaktian, akhirnya sosok itu dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Begitu banyak kerabat, sahabat dan teman-teman yang datang. Namun tak ada satupun dari mereka yang sanggup menebak akhir dari kisah ini.
- · Yeonju menemukan Hyosun tengah tak sadarkan diri di bath up yang penuh dengan air. Tangannya terjulur, pergelangan yeoja itu tampak tergores dan meneteskan banyak darah yang membuat lantai seketika berubah warna menjadi merah. Bahkan wajah Hyosun memutih, pucat pasi, seperti tidak ada darah yang mengalir di bawah permukaan kulitnya.
Onew & author : nah itu dia cuplikan part sebelumnya. Akhir kata,
happy reading! *pelukan samping sambil lambai2 tangan ._.
Tittle : Fuchsia [Part 15/END]
Author : Ichaa Ichez
Lockets
Genre : Friendship, Romance, Angst.
Rating : T
Cast : Lee Yeonju, Kim Hyosun,
Lee Jinki (Onew), Choi Minho.
Cameo :
Song Jihyo, Lee Taemin.
Length : Chapter
Desclaimer : This story is originally mine. This is
only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!
Sirine
ambulance yang berbunyi nyaring seketika membelah kepadatan kendaraan yang
memenuhi setiap jengkal jalan menuju rumah sakit. Didalamnya berbaring kaku
tubuh Hyosun dengan selang infuse serta selang yang terhubung dengan tabung
oksigen. Tepat disamping yeoja itu terlihat Yeonju yang terduduk kaku tanpa mengucapkan
sepatah katapun.
Kaos
Yeonju yang semula berwarna ungu pastel penuh dengan noda bercak kemerahan.
Tangan yeoja itu gemetaran, jantungnya bahkan memompa dua kali lebih cepat dari
biasanya melihat perawat dengan cekatan memberikan pertolongan pertama pada
Hyosun.
Sementara
itu sebuah mobil mewah mengekor dibelakang mereka. Mobil itu berisi umma dan
appa Hyosun tentu saja. Sejak tadi umma Hyosun tak henti-hentinya menangis saat
mengetahui keadaan Hyosun yang begitu mengenaskan seperti sekarang.
Dua
puluh menit perjalanan yang terasa bagai setahun itu akhirnya berakhir juga.
Cepat-cepat perawat menurunkan tempat tidur Hyosun dan membawanya ke unit gawat
darurat. Tenggorokan Yeonju seketika tercekat melihat pintu dengan kaca dop
berwarna putih tertutup. Sampai situlah langkahnya terhenti, dan berikutnya
hanya sanggup menunggu kemungkinan yang akan terjadi.
“Hyosun-ah~
kenapa kau melakukan ini sayang?” sesal umma Hyosun sambil menangis. “Jika aku
mengetahuinya dari awal, pasti tidak akan terjadi seperti ini yeobo…” ucapnya
pada appa Hyosun. Bagaimanapun juga perbuatan nekat Hyosun ini tidak pernah
terlintas sedikitpun di benak semua orang, termasuk umma Hyosun dan sahabatnya,
Yeonju.
Peristiwa
mengejutkan yang sama, tempat yang sama, suasana yang sama, perasaan takut yang
sama. Yeonju tidak pernah berfikir semuanya akan terjadi seperti ini. Tadi
malam baru saja Yeonju kehilangan orang yang ia sayangi, sekarang iapun harus
mengulang kembali semua kepahitan itu.
Yeonju
terduduk lemas dipinggiran koridor sementara semua penyesalan umma Hyosun membuat
hatinya bertambah buruk. Tapi ia tidak ingin menangis, belum. Hatinya terasa
begitu sakit, namun untuk kali ini dia berusaha tidak menangis, meski ia tidak
tahu sampai kapan ia bisa bertahan.
“Keluarga
saudari Hyosun?”
Suara
seorang perawat mengalihkan perhatian Yeonju serta appa dan umma Hyosun.
“Iya
kami keluarga Hyosun dokter.”
“Pasien
kehilangan banyak darah. Kebetulan stok golongan darah B di rumah sakit ini
habis. Kami membutuhkan pendonor untuk pasien.”
“Biar
saya saja Sus.” Tawar Yeonju.
“Tidak,
ambil darah kami saja Sus.” Usul ayah Hyosun menunjuk dirinya dan umma Hyosun.
Umma Hyosun pun menyetujuinya.
Perawat
itu mengamati mereka bertiga, “Kami membutuhkan dua kantong darah. Karena
kondisi ibu sedang shock, jadi sebaiknya bapak dan agashi saja yang ikut saya.
Bapak bergolongan darah apa?”
“Saya
B.”
“Agashi?”
“O.”
“Baiklah,
ikut saya sekarang.”
Mereka
berdua lantas berpindah ke lantai dua, dimana terdapat sebuah ruangan untuk
donor darah. Yeonju berbaring diatas tempat tidur dan menatap langit-langit
kamar sementara sebuah selang mengalirkan darah merahnya.
Gadis
itu terpejam sesaat. Saat itulah ia teringat akan percakapannya bersama Hyosun
saat mereka masih duduk di sekolah menengah.
“Yeonju,
jika aku hampir terjatuh di ujung tebing seperti di film itu…” Hyosun menunjuk
televisi yang ada diruang tengah dengan ekor matanya, “Apa kau mau menolongku?”
Yeonju
menoleh sambil meletakkan remote tv dipangkuannya, “Tentu saja aku akan
menyelamatkanmu?”
“Tapi
kalau kau sedang tidak ada disana?”
“Aku
akan berlari untuk menyelamatkanmu.”
“Bagaimana
kalau gara-gara usahamu menyelamatkanku, justru kau sendiri yang jatuh?” tanya
Hyosun lagi sambil mengambil keripik dari dalam toples. Jawaban Yeonju
membuatnya tertarik.
“Tidak
apa-apa.”
Dahi
Hyosun berkerut.
“…karena
aku tahu kau tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Tawa
Hyosun meledak, “Kalau kau jatuh gara-gara menyelamatkanku, maka akupun akan
menerjunkan diriku untuk menyusulmu.”
“Ya!
Jangan melakukan itu. Sama saja aku sia-sia menyelamatkanmu Hyosun~”
“Hehehe…”
Hyosun nyengir sambil terus memakan keripik kesukaannya.
“Nona
Yeonju?” panggil seorang perawat yang membuat Yeonju seketika membuka matanya.
“…proses
donor darah sudah selesai.”
Yeonju
melirik ke arah tangan kanannya, disana hanya terlihat buntalan kapas kecil
yang direkatkan dengan sebuah plester. Perlahan yeoja itu bangkit kemudian
berjalan mendekati pintu. Disana sudah tersedia satu gelas susu hangat dan
beberapa makanan yang sengaja disiapkan untuk pasien donor darah agar energinya
kembali pulih.
Yeonju
merasa tubuhnya sedikit aneh, tapi ia mencoba terus berjalan keluar melintasi
koridor menuju UGD di lantai 1. Awalnya yeoja itu merasa lampu koridor sangat
silau tapi lama-lama justru mengabur. Apapun obyek yang ada disekitarnya
berubah menjadi blur. Saat itulah badan Yeonju melemas, kepalanya berat dan
tatapannya berkunang-kunang, sementara kedua kakinya tak lagi bertenaga.
Hampir
saja Yeonju ambruk jika tidak ada kedua tangan yang memeluk tubuhnya dengan
segera.
“Yeonju
gwenchana?” suara itu tak mungkin Yeonju lupakan, bahkan meski kalimat terakhir
yang Yeonju dengar dari suara itu sangat menyakitkan, ia akan tetap
mengingatnya.
Yeonju
mendongak menatap seseorang yang 15 cm lebih tinggi darinya. Raut wajah namja
itu tidak terlihat jelas, hanya tatapan cemasnya yang sanggup Yeonju tangkap.
Namja
itu lantas menuntun Yeonju menuju kursi dipinggiran koridor dan mendudukannya
disana.
“Naneun
gwenchana, sunbaenim.” Jawab Yeonju datar.
“Sampai
kapan sifat keras kepalamu itu tidak hilang Yeonju?” Minho menyerahkan segelas
coklat hangat yang sudah ia beli sebelumnya pada Yeonju. Ia menyesalkan Yeonju
yang tidak mengambil minuman yang diberikan rumah sakit dan membuat tubuhnya lemah
seperti sekarang.
Tak
ada jawaban. Tatapan Yeonju justru terjatuh pada segelas coklat hangat itu,
kemudian diminumnya sedikit demi
sedikit.
Suasana yang hadir
selanjutnya terasa janggal, begitu canggung. Minho terdiam melihat noda darah
yang ada di kaos Yeonju lama sekali, lambat laun tatapannya berubah pilu. Ia
sanggup membaca betapa Yeonju sangat menghawatirkan sahabatnya itu.
Tiba-tiba Yeonju merasa
tubuhnya disandarkan disebuah bahu, sementara tangan itu melingkar di tubuhnya
kemudian mengusap rambutnya dengan lembut. Seperti ada sebuah getaran yang
menjalar melewati aliran darah Yeonju. Dadanya bergejolak. Belum pernah Yeonju
mengalami perasaan seperti ini sebelumnya.
“Tidak
apa-apa, Hyosun pasti akan baik-baik saja.” ucap Minho mengetahui pikiran
Yeonju. “Kau sudah memberikan yang terbaik yang kau bisa Yeonju, jadi kau tidak
perlu khawatir.”
Yeonju
menutup matanya, tak langsung menjawab. Kehangatan yang ia rasakan terlalu
nyaman untuk ia lewatkan begitu saja.
“Apa
kau takut?” tanya Minho lirih.
Jawabannya
tentu saja ‘ya’. Sampai detik ini Yeonju masih belum sanggup menerima kepergian
Onew, tidak mungkin ia membiarkan hal yang sama terjadi pada Hyosun.
Membayangkannya saja Yeonju ngeri, apalagi melewatinya. Yeonju yakin jika hal
itu benar-benar terjadi, dia tidak akan sanggup melewati sisa hidupnya dengan
tenang.
Jika
saja Yeonju bisa menukar posisi Hyosun dengan dirinya, tanpa berfikir dua kali
Yeonju pasti akan melakukannya.
“Aku belum siap
kehilangan dua orang sekaligus sunbaenim…” Ia menarik nafas tertahan. “Aku…
tidak akan pernah siap.”
Mendengar
ucapan itu, Minho semakin merengkuh Yeonju kedalam pelukannya. “Hal itu tidak
akan terjadi Yeonju. Percayalah padaku.”
Entah
kenapa kedua mata Yeonju terasa memanas, meski ia mencoba untuk meredamkan
perasaan itu, air yang mengalir di sudut matanya kini tidak sanggup ia tahan
lagi. Dan saat itulah Minho menyadari sesuatu. Sekeras apapun sisi yang selama
ini Yeonju perlihatkan padanya, ternyata sisi lain dari itu justru lebih rapuh.
Lebih mudah untuk hancur.
Minho
sendiri tidak percaya ia pernah membenci seseorang yang ada dalam pelukannya
ini. Ia bahkan sempat merasa tidak mengenali dirinya sendiri karena telah
mengambil keputusan tanpa berfikir lebih dulu. Jika saja Minho mempercayai atau
setidaknya ‘mendengarkan’ nasihat seorang peramal waktu itu, mungkin penyesalan
yang ia miliki tidak akan sebesar sekarang.
“Maaf.”
Hanya sebuah kata singkat dengan nada penuh sesal yang terdengar selanjutnya.
“Maaf karena tidak percaya padamu, Yeonju.”
Yeonju
mendongak menangkap tatapan Minho, kemudian ia usap air mata dengan punggung
tangannya.
“Apa sunbaenim tidak
marah padaku lagi?”
Minho
justru tersenyum, “Jika aku masih marah padamu, tidak mungkin tadi aku
mengangkat telfonmu dan langsung datang kemari Yeonju.”
Benar
tadi Yeonju sempat menelfon Minho sebelum ambulance datang. Ia terlalu panik.
Selain Onew, hanya Minho yang sanggup ia pikirkan saat itu.
“Apa
aku terlambat?”
Terlambat
untuk mengetahui keadaan Hyosun? Yeonju menggeleng.
“Jika
Jinki masih hidup mungkin aku memiliki kesempatan untuk minta maaf padanya…”
Ucap Minho tertunduk. “…Aku tidak memberi Jinki sedikit saja waktu untuk
berbicara dan bahkan langsung menghajarnya. Sampai terakhir kali aku
melihatnya, pengakuannya membuatku terperangah. Dia rela Hyosun membencinya
demi mengembalikan persahabatan kalian berdua. Saat itulah aku berfikir
pandanganku terhadapnya-lah yang salah.”
Yeonju
menegakan posisi tubuhnya dan menatap Minho tidak percaya.
“…Dan
apa kau tahu apa kalimat terakhir yang ia ucapkan padaku? Ia memintaku untuk
menjagamu dan Hyosun. Dia bilang dia percaya padaku. Dia… percaya padaku.”
Hampir
saja Yeonju bertanya lebih lanjut, namun belum sempat ia membuka bibirnya, ada
seorang perawat yang mendekat.
“Yeonju,
kenapa kau masih disini?” tanya perawat bernama Song Jinhyo itu. “Bukankah kau
sedang menunggu Hyosun di ruang UGD? Kulihat dr. Kim tadi sudah keluar dari
sana.”
“Jeongmalyo
eonni? Lalu bagaimana keadaan Hyosun sekarang?”
***
-18
Juli 2016-
Dari
kejauhan terlihat seorang gadis dengan blazer hitam tampak terduduk sambil
menaburkan bunga ke sebuah makam. Sorot mata gadis itu memancarkan kepiluan,
bibirnya sedikit bergetar, mencoba menahan gejolak yang menyerang dalam
dadanya. Rasa sakit, sedih dan kecewa yang mendera gadis itu beberapa tahun
silam seakan kembali muncul menyapa diding hatinya, hingga kini dengan jelas dapat
ia rasakan kembali.
Yeoja
yang sebelumnya paling ia sayangi didunia ini harus pergi setelah seluruh hidup
Yeonju perjuangkan hanya untuknya.
Yeonju
tersenyum miris mengusap batu nisan bertuliskan nama yeoja itu. Air matanya
kembali tergenang. Tapi sekali lagi ia mencoba untuk tegar karena bagaimanapun
juga kehidupan tidak akan berhenti sampai disini. Masih banyak yang harus ia perjuangkan.
Saat
itulah Yeonju merasakan ada seseorang yang meremas lembut bahu kirinya. Yeonju
menoleh kemudian tersenyum, “Apa oppa sudah terlalu lama menunggu?”
Namja
yang sebelumnya pernah mendapat panggilan ‘sunbaenim’ itu menggeleng, “Ani.
Hanya mengingatkan kalau sebentar lagi malam tiba.”
Yeonju
mendongak ke atas, benar kata namja itu, tidak terasa ternyata langit sudah
gelap.
“Mian
aku tidak menyadarinya.” Ucap Yeonju lalu bangkit, “Kalau begitu kita pulang
sekarang saja ya Oppa?”
Minho
mengangguk kemudian menggandeng Yeonju menuju halte. Setelah bus datang, ia
mempersilakan Yeonju duduk di pojok dekat jendela sementara ia duduk di
sampingnya.
“Apa
yang sedang kau pikirkan?” tanya Minho melihat Yeonju tampak tercenung
mengamati pepohonan di pinggir jalan.
Yeonju
menoleh, “Tidak ada Oppa.”
Mendengar
jawaban Yeonju, Minho menghela nafas panjang. “Sudah 3 tahun lebih kau menjadi
yeojachinguku, tidak mungkin aku tidak tahu kau sedang berbohong.”
Sudut
bibir Yeonju melengkung namun tatapannya masih terlontar keluar jendela, “Aku
memikirkan Hyosun…” Ia menoleh ke arah Minho, “dan Oppa…”
“Sudah
kuduga kau pasti sedang memikirkanku.” Ucap Minho narsis. “Tapi Hyosun…?”
Yeonju
tertawa kecil melihat reaksi Minho, bibirnya kembali berujar, “Bukan seperti
itu… Tapi eung… ini tentang kejadian di masa lalu. Mungkin memang wajar jika
dulu Oppa memilih untuk membela Hyosun dan menuduhku yang tidak-tidak. Tapi
saat melihat Oppa menghajar Onew Oppa karena Hyosun, itu sedikit… menakutkan.”
“Apa
karena itu kau dulu berfikir aku menyukai Hyosun?”
“Itu…”
Jemari
Minho lantas menggenggam tangan Yeonju erat, saat itulah terlihat sebuah gelang
berwarna ungu dan merah saling berdekatan, “Jawabannya sederhana, aku memilih
untuk membela Hyosun karena aku paling tidak bisa melihat yeoja disakiti orang
lain–terutama namja. Sama seperti ummaku yang ditinggal selingkuh oleh appaku,
aku tidak bisa membiarkan Hyosun bernasib serupa. Dan jika kau yang ada
diposisi Hyosun, akupun akan melakukan hal yang sama.” Ia kemudian tersenyum.
“Kenapa kau baru bertanya sekarang?”
“Ani,
aku…” Yeonju menggantungkan kalimatnya. “Hanya penasaran.” Ucapnya berbohong,
padahal bukan itu yang ada dalam pikirannya.
“Hanya
penasaran atau karena cemburu?” goda Minho membuat pipi Yeonju seketika berubah
merah.
“Oh
kita sudah sampai apartemenku Oppa!” cepat-cepat Yeonju bangkit dan turun dari
bus sebelum wajahnya semakin memerah. Sedangkan Minho hanya mengusap puncak
kepala Yeonju ketika ia dan Yeonju turun.
Mereka
berjalan pelan menaiki tangga kemudian melewati koridor, tepat ketika Yeonju
membuka pintu, ada sesuatu yang membuat ia terkejut.
“SURPRISE!!!”
teriak seseorang sambil menyalakan lampu.
“Aigoo
Hyosun? Kau apakan apartemenku?”
Suasana
apartemen yang semula ‘apa adanya’ itu mendadak berubah menjadi serba ungu.
Sofa besar, meja kerja, serta tembok dan hiasan dinding kini bernuansa warna
kesukaan Yeonju. Bahkan korden dan gantungan lampu pun berwarna senada. Dan tak
hanya di ruang tengah, tapi juga kamar tidur, dapur, dan kamar mandi, semuanya
bernuansa ungu.
Sesuatu yang sangat
menarik perhatian adalah ratusan foto yang terpanjang di dinding belakang sofa,
persis seperti yang ada di apartemen Minho. Didalamnya terdapat banyak foto
Hyosun, Yeonju, dan beberapa foto Onew bersama Yeonju dulu.
“Apa semua ini kau yang
melakukannya?” tanya Yeonju pada Hyosun.
“Hehehe.” Ia mengangguk,
“Dengan ‘sedikit’ bantuan dari beberapa tukang cat, tukang property, arsitek…”
Hyosun tampak menghitung dengan jarinya. “Dan…” kerlingan matanya menunjuk ke arah
Minho.
“Oppa juga ikut
merencanakannya?”
Minho menggaruk tengkuknya sambil bersiul
melihat ke langit-langit kamar.
“Jadi Oppa seharian ini
mengajakku jalan-jalan dan ke makam umma untuk memberi kesempatan Hyosun
melakukan semua ini?”
Buru-buru Hyosun memeluk
sahabatnya dari samping, “Jangan marah dulu Yeonju, ini ideku. Ideku!”
Minho mengangguk setuju.
“Tapi semuanya belum
selesai sampai disini. Masih ada acara inti.” Hyosun bergegas mengambil sesuatu
dari dalam kamar.
“Saengil chukkahamnida~
Saengil chukkahamnida~” yeoja itu datang bersama sebuah kue tart dengan nyala
lilin bertuliskan angka 23.
“Selamat ulang tahun
Yeonju.” Ucap Minho.
“Ayo-ayo make a wish!”
Yeonju sempat melihat ke
arah Hyosun dan Minho bergantian kemudian menutup matanya.
Yeonju merasakan hari
ini berjalan seolah mimpi. Seperti baru saja ia kehilangan Onew disusul oleh
kematian ummanya yang
menyakitkan satu tahun kemudian, namun begitu banyak kejadian menyenangkan yang
terjadi berikutnya.
Perselisihan antar fakultas kedokteran dan fotografi tidak ada lagi.
Setelah Onew pergi, ayah Onew selaku rektor memberi perlakuan yang sama pada
semua fakultas–seperti permintaan yang sejak dulu Onew inginkan. Bahkan rektor
mengakui Minho sebagai lulusan terbaik dari fakultas fotografi, menyusul
kelulusan Hyosun dan Yeonju di tahun selanjutnya.
Dengan bakat dan kemampuan Minho yang cemerlang, Jonghyun–atasan Yeonju
sekaligus teman lama Minho–memperkenalkannya pada sebuah majalah besar. Kini
Minho memiliki studio foto sendiri dengan klinik kesehatan di lantai pertama.
Jadi Hyosun membeli bangunan dua lantai, lantai satu bangunan itu dipakai
untuk klinik dokter umum milik Hyosun, sementara lantai dua adalah studio foto
milik Minho dengan Yeonju yang menjadi co-fotografernya.
Setelah umma Yeonju meninggal, orang tua Hyosun sempat berniat untuk
mengadopsi Yeonju. Meski Yeonju menolak, keluarga Hyosun sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri.
Hyosun pun lebih sering tinggal di apartemen Yeonju ketimbang di rumahnya.
Sayangnya sampai sekarang Hyosun belum mendapatkan
pengganti Onew. Padahal ada rekan
di bangku kuliah Hyosun yang menaruh hati padanya. Seorang pemuda yang sangat
sopan dan cerdas. Namja bernama Taemin itu sudah lama mengejar Hyosun, namun
sepertinya nama ‘Onew’ masih memenuhi tempat di hati yeoja
itu.
Dan kini Yeonju tidak berharap banyak. Ia hanya ingin orang-orang yang
dicintainya akan senantiasa menemaninya. Dengan demikian Yeonju yakin
kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya.
“Fiuhh...” dalam sekali tiupan lilin itupun padam.
Yeonju menunduk, bola matanya mulai basah, “Lalu sekarang, bagaimana
caranya aku membalas kebaikan kalian berdua?”
Hyosun langsung memeluk sahabatnya dengan erat, “Cukup menjadi Yeonju yang
apa adanya, ne?”
Minho hanya sanggup tersenyum melihat kedua yeoja didepannya, “Kau belum
menerima kado dariku Yeonju.” Ucapnya kemudian meraih sesuatu dari atas meja.
“Ini.”
Tatapan Yeonju berubah bingung, apa maksudnya kamera Yeonju sendiri Minho
berikan sebagai sebuah hadiah?
Melihat ekspresi
Yeonju, Minho justru tertawa geli. “Bukan kamera itu, melainkan aku.”
Dahi Yeonju berkerut.
“...Untuk pertama dan terakhir kalinya kau boleh mengambil gambarku dengan
kamera ini. Hanya kali ini saja.”
“Ah! Arraso...arraso...” Hyosun merebut kamera itu dari tangan Yeonju,
“Sekarang kalian berdua pegang kue tart ini. Lalu berdiri disana, aku yang akan
mengambil foto kalian berdua… Siap?”
Yeonju dan Minho sempat saling menukar pandang, tapi pada akhirnya mereka
menuruti apa kemauan Hyosun dan… KLIK! Jadilah selembar foto dengan Minho yang tersenyum hangat memeluk
Yeonju dari samping dan Yeonju yang tersenyum tipis. Mereka berdua tengah
mengangkat sebuah kue tart dengan angka 2 dan 3 diatasnya.
Mulai sekarang Yeonju sadar, meski begitu banyak cobaan yang membuat ia ingin
menyerah, pada akhirnya ia akan tetap kembali pada
Hyosun. Karena baik Yeonju maupun Hyosun tahu, bahwa disaat terlalu menyakitkan
untuk melihat kebelakang dan takut untuk melihat kedepan, mereka akan melihat
ke samping dan menemukan sosok sahabat berdiri disana.
Sahabat bukan hanya seseorang yang hadir dalam waktu yang lama, bukan juga
seseorang yang akan mengangguk jika kita memintanya berkata ya. Tapi sahabat
adalah seseorang yang akan mengingatkan ketika kita berbuat salah, yang akan
menutup jika kita memiliki lubang, dan yang masih bisa kita lihat meski kita
sedang terpuruk di dasar jurang maupun terbang diatas awan.
Dan jika saja Hyosun bukan merah muda dan Yeonju bukan ungu, persahabatan
mereka berdua akan tetap melebur layaknya ‘fuchsia’.
-The
End-
AKHIRNYA!!!!
Setelah
penantian(?) panjang selama 10 bulan akhirnya FF ini kelar juga. *tarik nafas
panjang.
Sekedar
info(?), jadi ceritanya pas Yeonju abis donorin darahnya itu Hyosun
terselamatkan dan memafkan kesalahan Yeonju. Minho pun bantu ngelarin semua
masalah (dengan pengetahuannya(?) tentang kebohongan Onew). Terus pemakaman
yang Yeonju datengin itu pemakaman ummanya Yeonju yg udah sakit lama banget. Daan
seperti yang diharapkan banyak readers, Minho berakhir dengan Yeonju jadi
sepasang kekasih. #ceilah
Dan
Taemin, dia Cuma numpang nongol nama doang. Wkwkwk
Oiya
soal kesalahan(?) di part sebelumnya, ga ada yang berhasil nebak T.T jadi aku
kasih tau apa aja kesalahannya ya. Yang pertama, aku sempet gambarin kalo
rumahnya Hyosun itu bergaya minimalis, tapi di part 13 malah jadi bergaya eropa
wkwkwk. Kedua, aku certain kalo apartemennya Yeonju itu punya lift, tapi di
part 12 malah aku certain ga ada lift xD. Pada ga nyadar kan? Aku aja ga nyadar
:p
Dengan
berakhirnya FF yang sangat-menguras-tenaga,-waktu,-pikiran,-dan-duit(?) ini,
saya selaku author mengucapkan beribu terimakasihhhh. *ngirim parsel ke rumah
readers masing2*. Makasih atas semua kritik, saran, masukan, komen dan like. Makasihhh
banget!
Dan
setelah ini mungkin aku bakalan focus ke skripsi, udah ga ada tanggungan lagi. Doain
ya semuanya biar skripsiku lancar. Amin.
untuk next FF, maaf
belum bisa janji apa-apa :(
akhir kata, annyeong~~~
First kah? Kyaaaaaaaaaaa mau foto bareng Minho kkk~ Happy ending \(^0^)/ suka suka suka! :D
ReplyDeleteiya hehehe.
Deletemakasih saaaaaaaaaaaaaaay #hug
kereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnnnnnnnnnnnnnn!!!!!!!!!!!
ReplyDeleteakhirnya kelar juga bacanya.. seru , menegangkan , sedih , kesel, senyum" sendiri ,..huuft ..berbulan-bulan saya menunggu lanjutan-lanjutan-lanjutan sampai pada akhirnya the end..^0^
makasihhhh
Deletehaha iya udah lama banget ya dari part 1
makasih banyak udah mau ngikutin ^^
keren eon, tp sad ending ni bwt psngan hyosun ma onew
ReplyDeletedaebak deh bwt eonni
akhirnya selesai juga bacanya,,
ReplyDeletemakasih y eoni , sukaaaaaaaaa banget sma endingnya....
haha makasih juga say udah komen :D
DeleteUnni,, kyaaa,, bgs bgt! Skrg hobi baruku bc ff *gk da yg nanya* gr 2 bc ffnya unni... Daebak! Trus bkin ff lg yaaa ^^
ReplyDelete