Tuesday, 1 January 2013

FF SHINee : Fuchsia [Part 14]



Nah nah nah akhirnya saya balik lagi ^^
Sebelumnya selamat taun baru buat readers semuanya, maap kalo author ada salah2 kata J
Langsung aja ya kita liat cuplikan episode sebelumnya(?):

  • ·         “Aku akan membawa semua foto dalam kotak itu kecuali yang satu ini.” Ia meletakkan sebuah foto dihadapan Yeonju. “Bawalah... ingat aku sebagai seorang sahabat yang kini menjadi kekasih sahabatmu.”
  • ·         “Bagaimanapun juga kau lebih dulu mengenal Hyosun daripada aku. Aku tidak ingin hanya karena aku, persahabatan kalian hancur.”-Onew
  • ·         Onew justru tersenyum, “Tentu saja aku yakin. Kau hanya perlu percaya kalau nantinya semua akan baik-baik saja Yeonju.”
  • ·          “Maaf tapi yang terjadi selama ini hanya sebuah kebohongan. Yeonju tidak mengetahui apapun. Yang ia tahu hanya kau bahagia karena telah mendapatkanku. Apa kau kira kau pantas membenci seseorang yang sudah mengorbankan cintanya demi kau Hyosun?”
  • ·         “Kau boleh mengucapkan apa saja yang bisa membuat Hyosun percaya. Tapi tatapanmu berkata lain.” Minho tahu benar ada maksud dari kebohongan Onew saat ini.
  • ·         Onew menggeleng pelan. “Ini semua bukan demi Yeonju, tapi demi persahabatan mereka berdua.”


Sedikit pemberitahuan, kata2 yang bercetak tebal berarti masa lalu. Jangan lupa juga puter backsongnya ya biar dapet feelnya wkwkwk, Dan ini dia lanjutannya~ cekidotsss~



Tittle               : Fuchsia [Part 14]
Author                        : Ichaa Ichez Lockets
Genre              : Friendship, Romance, Angst.
Rating             : T
Cast                 : Lee Yeonju, Kim Hyosun, Lee Jinki (Onew), Choi Minho.
Length            : Chapter
Desclaimer     : This story is originally mine. This is only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!


-     21.36 KST-
Dengan cermat Yeonju memainkan jarinya diatas mouse. Matanya berusaha fokus mengamati detail objek yang terpampang dilayar laptopnya. Berbagai efek sudah tertata rapi diluar kepalanya. Kini tinggal menambahkan efek gloomy sebagai sentuhan terakhir, maka foto itu siap dikirimkan pada Jonghyun-atasannya.
            Sejenak Yeonju merenggangkan otot-otot bahunya yang tegang karena terlalu lama berkonsentrasi pada laptop, sampai sebuah foto yang menempel di gabus tepat belakang layar laptopnya menarik perhatian. Entah kenapa foto itu terlihat begitu menyedihkan sekarang.
            Foto itu adalah foto selca Yeonju bersama Onew ketika Onew belum menjadi kekasih Hyosun. Foto inilah yang sempat Onew berikan sebelum akhirnya ia pergi menemui Hyosun sebelum makan malam tadi.
            Yeonju meraih foto itu kemudian melihatnya lebih seksama. Yeonju sangat berharap usaha Onew malam ini berhasil. Ia hanya ingin semua kembali seperti dulu, bahkan mungkin lebih baik.
            Saat itulah tiba-tiba handphone Yeonju berdering. Cepat-cepat ia meraihnya, siapa tahu itu kabar baik dari Onew. Namun jauh dari dugaan Yeonju, telpon itu justru dari Song Jihyo, seorang perawat rumah sakit tempat umma Yeonju dirawat. Jihyo selalu menelpon Yeonju saat umma Yeonju ingin menemuinya, atau sedang tidak mau makan.
            “Yeoboseyo...?”
            “Yeonju?” suara di seberang tampak panik.
            “Wae guraeyo onni?”
            “Kau masih ingat dengan temanmu yang praktik di rumah sakit ini?”
            “Ne?”
            “Dia mengalami kecelakaan...”
            DEG!
            “... dan baru saja dibawa ke UGD rumah sakit. Sekarang kondisinya kritis. Kulihat terjadi banyak pendarahan di kepalanya.”
            Yeonju menjatuhkan ponselnya ke lantai. Kepalanya tiba-tiba terasa berat, lututnya melemas. Akhirnya Yeoja itu tumbang dengan kedua tangan yang menjadi tumpuannya dilantai.
            “Onew...Op-pa?”
            Hampir saja Yeonju tidak mempercayai indra pendengarannya sendiri. Bagaimana mungkin hal yang begitu mustahil bisa tiba-tiba terjadi?
            Syaraf motorik yeoja itu mendadak tidak berfungsi. Bahkan hanya untuk berdiri membutuhkan begitu banyak tenaga dan helaan nafas. Padahal Yeonju tahu ia harus segera bergerak sekarang juga.
            Hanya berbekal sebuah jaket baseball, sandal jepit dan celana pendek, akhirnya Yeonju tergesa menuruni tangga apartemennya. Ia tahu benar jam segini sudah tidak ada bis yang beroperasi. Hanya taksi, itupun tak juga kunjung lewat setelah lebih dari 10 menit ia menunggu.
            Hanya tersisa satu pilihan, Yeonju harus melewati jalan sejauh 2 blok menuju rumah sakit dengan berlari.
            Pikiran Yeonju terlampau kalut. Tak ada seorangpun yang memenuhinya kecuali Onew...Onew...dan Onew.... Semakin ia menebak apa yang akan terjadi setelah ini, entah kenapa hatinya semakin terasa sakit.
            Saat itu pula ada sebuah memory yang tiba-tiba menyeruak dalam pikirannya. Datang seperti sebuah flash kamera yang kini terekam kuat dalam ingatannya.
            “Jika Oppa mencintaiku, tolong jadikan Hyosun kekasih Oppa dan lupakan semua yang terjadi diantara kita.” Ucap Yeonju tajam, sebagai satu-satunya cara untuk membuat Hyosun dan Onew bersatu lebih dari setahun yang lalu.
          Kerongkongan Onew tersumbat. Ia tidak sanggup mnyelesaikan kata-kata yang sebelumnya bahkan telah ia susun dengan rapi.
          “Yeonju kau...” Onew berhenti sejenak. “...Apa kau serius?”
          Yeoja berambut pendek itu mengangguk. “Kuharap oppa tidak mendekatiku lagi.”
          Kata-kata pelan dari bibir mungil Yeonju terdengar bagai pertir yang berdentum keras di hati Onew. Meski ia menemukan wajah yeoja didepannya ini menyimpan kesedihan, namun entah kenapa bibirnya berkata lain.
          “Aku akan melakukannya jika kau mau menjawab pertanyaanku.” Ucap Onew memberi syarat, Yeonju hanya menaikkan kedua alisnya.
            TIIINNNN! Suara klakson mobil tiba-tiba membuyarkan lamunan Yeonju. Hampir saja gadis itu bernasib sama dengan Onew karena terlalu sibuk memikirkannya.
            “Jeosonghamnida...” Ucap Yeonju terengah kemudian kembali berlari menuju rumah sakit.
            Helaian rambutnya terkibas naik turun sementara kepulan asap tipis keluar dari mulutnya. Gadis itu masih mencoba berlari meski jarak menuju rumah sakit baru tertempuh separuhnya.
            Perlahan permukaan mata Yeonju mulai basah, nafas yang meburunya terasa semakin sempit. Entah kenapa perasaannya semakin bertambah buruk sekarang.
            Yeoja itu berhenti dengan kedua tangan yang bertumpu pada lututnya. Helaan nafas berat ia hembuskan bagai baru saja mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di hatinya.
            ‘Oppa tidak boleh pergi begitu saja. Tidak boleh!’
            (backsong: In Your Eyes – Onew)
            Lampu neon berwarna putih menyala terang memenuhi setiap sudut koridor. Orang bersegaram serba putih nampak berlalu lalang keluar masuk setiap ruangan. Tanpa berfikir Yeonju langsung berlari menuju UGD di bagian barat rumah sakit. Ia sudah sangat hafal dengan setiap letak ruangan di rumah keduanya itu. Meski di rumah sakit tidak pernah menyenangkan, Yeonju merasa kali ini atmosfir tempat itu dua kali lipat lebih ‘dingin’ daripada biasanya.
            Hanya tinggal kurang lebih 8 meter Yeonju sampai di pintu ruang UGD, namun langkahnya tiba-tiba berhenti di tikungan. Kedua matanya menangkap beberapa orang tampak panik didepan ruang itu, sebagian besar Yeonju mengenalinya.
            “Oppa jebal bertahanlah... jangan tinggalkan aku Oppa...” Suara serak bercampur tangis terdengar jelas disana.
            “Tenanglah Hyosun, dia pasti akan selamat.”
            Yeonju memutuskan untuk mundur beberapa langkah, masih mencoba bertahan untuk tidak bersuara. Tapi tanpa sengaja pandangan yeoja itu bertemu dengan seseorang yang berdiri disisi Hyosun. Seketika tubuh Yeonju membeku, ia sadar bahkan ia tidak berhak berada di tempat ini sekarang.
            Saat itu juga tiba-tiba pintu UGD terbuka, seorang dokter paruh baya keluar lebih dulu. Ia sempat melepas masker di wajahnya sebelum memperlihatkan ekspresi yang membuat semua orang mendadak kecewa.
            “Pasien mengalami benturan keras dikepala yang membuat banyak syaraf di otaknya mengalami kerusakan. Detak jantung pasien juga sudah lemah sejak dibawa kemari. Kami telah berusaha semaksimal mungkin, sayangnya Tuhan berkehendak lain...”
            DEG!
            Seluruh tubuh Yeonju seketika mati rasa. Waktu seperti berhenti beberapa saat sampai teriakan yang terdengar selanjutnya terasa begitu menyayat, sangat menyakitkan.
            Hampir saja Yeonju terjatuh jika tangannya tidak lebih dulu menopang di dinding. Ia memilih untuk merapatkan punggungnya di dinding persimpangan, kemudian perlahan turun karena kedua kakinya sudah benar-benar tak sanggup bertahan.
            “OOPPPAAA~~”
            Teriakan itu terdengar lagi. Membuat Yeonju seketika terduduk lemas sambil terisak, menutup mulut dengan telapak tangannya. Dada Yeonju bergetar. Matanya terpejam. Menunduk. Tangisnya tumpah ruah.
            Sulit dipercaya Onew pergi secepat ini setelah kurang dari dua jam yang lalu ia tersenyum dan berkata semua akan baik-baik saja seolah-olah yang terjadi akan berakhir dengan indah.
            Bahkan onew pergi meninggalkan sebuah tanda tanya besar. Tentang kebohongan sekaligus pengorbanannya untuk Hyosun dan Yeonju. Semuanya tidak akan berakhir begitu saja. Justru sekarang Onew dengan cepat pergi sementara begitu banyak orang-orang menantikan jawaban pasti darinya.
            Masih ada seorang yeoja yang belum sempat membencinya, masih ada seorang yeoja yang menunggu kabar baik darinya, masih ada seorang namja yang bahkan tidak sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dan Onew pergi begitu saja.
            Mulai sekarang tidak akan ada lagi namja yang menghadapi masalah dengan senyuman. Serumit apapun masalah itu ia akan menghadapinya dan membuat orang disekitarnya percaya semua akan baik-baik saja.
            Orang itulah yang kini pergi untuk selamanya.
            Yeonju berusaha menarik nafas panjang dan menyadari bahwa semua ini kenyataan. Ia mencoba menekan dadanya kuat-kuat ketika sesuatu yang begitu menyakitkan bersarang disana.
            Sebuah ingatan kembali muncul di pikiran Yeonju. Ketika memikirkan itu, rasanya Yeonju tidak lagi sanggup menampung air matanya.
            “Aku akan melakukannya jika kau mau menjawab pertanyaanku.”  Ucap Onew memberi syarat. Yeonju hanya menaikkan kedua alisnya.
          “Apakah kau pernah mencintaiku Yeonju?”
          Tatapan Yeonju berubah pias, tapi ia berusaha menjawab dengan yakin. “Tidak.”
          “Jangan berbohong.”
          “Aku tidak berbohong.”
          Ekspresi Onew mulai melunak. “Mengapa kau harus seperti ini Yeonju? Kau baru saja tidak hanya membohongiku, tapi juga membohongi dirimu sendiri.” Ia membuang nafas. “Apa kau melakukan ini demi Hyosun?”
          Bahu Yeonju menurun, ditatapnya kedua mata yang teduh itu. “Ini bukan demi Hyosun, Oppa, tapi ini demi persahabatan kami berdua.”
***
                Angin di awal musim gugur berhembus pelan melewati sela-sela pohon menjatuhkan daun-daun kering yang telah rapuh. Seakan turut mengiringi kesedihan di sebuah tempat dengan begitu banyak gundukan dan rumput hijau yang menyelimutinya.
            Setelah diadakan kebaktian, akhirnya sosok itu dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Begitu banyak kerabat, sahabat dan teman-teman yang datang. Namun tak ada satupun dari mereka yang sanggup menebak akhir dari kisah ini. Semuanya terasa begitu cepat berlalu hingga mereka tak diberi kesempatan untuk sekedar mengucapkan kata perpisahan.
            Yeonju berdiri dibalik pohon mapple sambil mengikuti prosesi pemakaman dari kejauhan. Tatapannya memancarkan kepiluan, tapi tak terlihat satupun tetes menggenang disana. Rupanya air mata yeoja itu sudah habis. Sudah terlalu puas ia menangis semalaman, dan kini yang bisa ia lakukan hanya berdoa dan berharap yang terbaik.
            Sama seperti Yeonju, Hyosun tampak tertegun sendirian. Namja yang setia menemaninya sejak malam sampai pagi tadi hilang entah kemana. Mungkin itulah salah satu alasan sekarang Hyosun tampak jauh lebih terpukul ketimbang sebelumnya.
            Lebih dari dua jam berselang, Yeonju tak beranjak sedikitpun dari tempat ia berdiri. Masih menunggu momen sampai makam itu benar-benar sepi hingga ia bisa mengeluarkan seluruh perasaannya disana. Setelah momen itu ia dapatkan, barulah yeoja itu berjalan mendekat. Disentuhnya batu berukirkan nama namja yang sempat menjadi cinta pertamanya disana, hatinya mendadak kembali terasa sakit.
            “Maaf aku datang terlambat Oppa...” bibirnya mengeluarkan suara yang nyaris tak terdengar.
            Tak ada jawaban tentu saja. Tapi Yeonju masih ingin mengeluarkan isi hatinya, sebagai luapan rasa kecewa dan tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi.
            “Kenapa harus seperti ini? Kenapa Oppa harus pergi begitu cepat?”
            Meski sangat singkat, banyak kenangan indah yang pernah Yeonju lewati bersama namja yang satu ini. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk berjalan-jalan di pinggiran sungai Han disore hari, atau sekedar menuruti keinginan namja itu untuk mencoba beraneka macam makanan ‘berbau ayam’ yang sangat ia gemari.
            Yeonju masih ingat betul senyum namja itu seperti sebuah sihir yang selalu membuat jantungnya berdegup diatas normal hanya dalam hitungan detik. Melihatnya yang begitu tenang, tatapannya yang teduh, bahkan hanya dengan melihat ia berjalan, Yeonju mendadak tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri karena terlalu ingin menghabiskan waktu bersama namja itu lebih dan lebih lagi.
            Tapi kenyataan yang terjadi sekarang berlipat-lipat kali lebih menyakitkan ketimbang harus mengalahkan egonya untuk meninggalkan namja itu demi Hyosun dulu. Karena bahkan namja itu yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.
            “Setelah Oppa pergi, lalu siapa yang akan memberiku kekuatan untuk menghadapi Hyosun? Bukankah Oppa bilang semua akan baik-baik saja? Tapi...” ia membuang nafas panjang. Terpejam sejenak, dan saat itu lah sebuah bisikan yang pernah ia dengar kembali muncul dalam otaknya.
            “Apapun yang terjadi, kumohon jangan menyerah pada Hyosun. Dan jika nanti aku tidak bisa menjaganya, maukah kau menjaganya untukku?”
***
            Sebuah bus berwarna hijau melaju kencang melewati Itaewon menju Osan. Gadis yang duduk di pojok bus itu tampak sangat resah, takut terlambat. Padahal ia sedang tidak memiliki janji apapun. Bahkan tidak ada seorangpun yang memintanya untuk datang sesegera mungkin. Tapi ia tahu ia harus bergerak cepat sekarang juga.
            Begitu banyak tanda tanya dibalik wajah Yeonju. Mengapa Onew sempat memintanya untuk tidak menyerah? Mengapa Onew mengatakan semua akan baik-baik saja? Dan mengapa Onew mengatakan semua itu seolah-olah ia tahu apa yang akan terjadi dan mempercayakan semuanya pada Yeonju untuk menyelesaikan semua hal yang belum sempat ia selesaikan?
            Terdengar tidak masuk akal, namun itu satu-satunya petunjuk yang bisa Yeonju pahami. Yang penting sekarang adalah, Yeonju harus segera memenuhi pesan Onew bagaimanapun caranya.
            Dengan penuh keyakinan Yeonju berdiri di depan pintu rumah Hyosun. Diluar dugaan, bukan ahjumma pembantu Hyosun yang membukakannya melainkan umma Hyosun sendiri.
            “Oh annyeonghaseo Ommoni.” Yeonju membungkuk spontan.  Wanita berambut pendek dengan perhiasan yang mencolok di bagian leher dan telinganya itupun sedikit mengangguk kemudian mempersilakan Yeonju masuk dan duduk di ruang tamu.
            “Lama tidak bertemu Yeonju. Sepertinya aku juga tidak melihatmu di pemakaman tadi. Ada apakah gerangan?” tanya umma Hyosun tanpa berbasa-basi karena sudah menganggap Yeonju seperti putrinya sendiri.
            “Oh mianhamnida Omonim, ada sedikit kesalahpahaman antara aku dan Hyosun. Jadi untuk sementara aku tidak bisa menemuinya.”
            Alis umma Hyosun berkerut. “Hyosun ngambek lagi? Apa dia menyakitimu?” justru beliau mengkhawatirkan Yeonju karena sudah sangat mengenali sifat putrinya yang sering marah hanya karena masalah yang sepele.
            “Animnida Omonim, aku yang salah. Sudah seharusnya aku meminta maaf sejak kemarin.” Sesal Yeonju kemudian menunduk.
            “Sudahlah tidak apa-apa. Lagipula tadi malam kalian berdua pasti lebih memikirkan yang terjadi pada Jinki ketimbang masalah kalian berdua sendiri.” Umma Hyosun terdiam sejenak. “Tidak disangka anak sebaik Jinki harus pergi secepat ini. Padahal Hyosun sempat menceritakan padaku kalau Jinki baru saja mengajaknya menikah.” Lanjutnya bersandar pada sofa.
            “Lalu bagaimana keadaan Hyosun sekarang Omonim? Sepertinya dia sangat terpukul...” Yeonju menyesal sejak kemarin tidak hadir menemani Hyosun di saat-saat tersulitnya. Sahabat macam apa dia ini?
            “Kau pasti tahu bagaimana Hyosun. Tentu saja ia tidak berhenti menangis... tidak mau makan... tidak mau diganggu... Mungkin memang sudah saatnya kau menemuinya sekarang.”
            Yeonju menangguk. “Apa Hyosun ada dikamarnya?”
            “Tadi dia sempat mengunci pintu. Tapi kau bisa membukanya dengan ini.” Umma Hyosun memberi Yeonju kunci cadangan kamar Hyosun. “Good luck!” ucapnya kemudian tersenyum tipis.
            Lantas Yeonju langsung beranjak dari ruang tamu, melewati tangga lantai dua, kemudian menuju ke kamar Hyosun yang terletak di ujung. Ia sempat mengetuk dan memanggil nama Hyosun beberapa kali, namun tak ada yang menyahut. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk masuk.
            “Hyosun...” panggil Yeonju hati-hati sambil membuka pintu. Disebarnya pandangan mengelilingi kamar yang luas itu.
            “Hyosun...” panggil Yeonju lagi.
            Tetap tidak ada yang menyahut, membuat Yeonju kemudian melangkah masuk dan mendekati tempat tidur Hyosun.
            Biasanya Hyosun akan duduk di karpet bulu dan menyandarkan badannya di tempat tidur sambil menulis buku diary sampai tertidur. Tapi bahkan saat Yeonju mengecek tempat itu, Hyosun tetap tidak ditemukan.
            “Kau dimana Hyosun? Apa kau tidak mau menemuiku?” Yeonju beranjak ke balkon, masih kosong. Kemudian ia memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi yang ternyata tidak dikunci.
            “YA TUHAN!! HYOSUN!!”
            Yeonju menemukan Hyosun tengah tak sadarkan diri di bath up yang penuh dengan air. Tangannya terjulur, pergelangan yeoja itu tampak tergores dan meneteskan banyak darah yang membuat lantai seketika berubah warna menjadi merah. Bahkan wajah Hyosun memutih, pucat pasi, seperti tidak ada darah yang mengalir di bawah permukaan kulitnya. Entah sudah berapa lama yeoja itu disana hingga kondisinya sekarang terlihat begitu mengerikan.
            “Hyosun! Hyosun sadarlah!” Yeonju menggoyangkan tubuh dingin Hyosun dengan panik. Tapi sayangnya tak ada reaksi sedikitpun, membuat Yeonju semakin takut akan kembali kehilangan seseorang yang ia sayangi.
            “Hyosun kumohon... HYOSUN!!!”
-To Be Continue-

            wowowow nasib onew buruk banget, dan sekarang Hyosun malah bunuh diri -_- *sigh.
            Sebenernya pas aku nulis bagian pemakaman itu rada kerasa aneh, jadi di part itu samaa sekali aku ngga nyebut2 nama Onew. Jadi diganti ‘namja itu’ ato ‘namja yang pernah jadi cinta pertamanya’. Ga tega kalo dikasih nama Onew. Tapi pasti pada ngerti yang dimaksud kan?
            Kemaren aku sempet baca2 fucshia yang part2 sebelumnya, ternyata disitu aku nemuin dua kesalahan. Wkwkwk, bukan yang berkaitan sama jalan cerita. Tapi... eung adakah yang bisa menemukan? Ntar aku kasih hadiah deh. Kkkk
            Oiya, buat yang udah nonton trailer fuchsia (ceilah!) disana ada beberapa poin yang udah terjawab. Yang pertama tentang kejadian masa lalu, kejadian masa lalu nya tentu aja hubungan Onew dan Yeonju. Yang kedua, siapakah yang akan mengalah? Jawabannya bukan Hyosun ato Yeonju, tapi Onew. Hiks hiks. Yang ketiga, persahabatan atau cinta yang mereka pilih? Jawabannya bagi Yeonju tentu aja persahabatan, dan Hyosun masih abstrak -_-
            Cuma tinggal satu pertanyaan, apakah persahabatan mereka akan bertahan?
            Nah itu akan terjawab di part berikutnya. Tapi lebih ke pertanyaan, Hyosun bakalan idup ato engga? Terus Minho (*jangan lupain namja yang satu ini), apa bakalan berakhir sama Hyosun ato Yeonju? Dan gimana dengan pertengkaran antara fakultas kedokteran sama fotografi? *yang ini juga udah lama ga dibahas -_-
            Semuanya bakalan dijawab di part selanjutnya yang adalah part ENDING alias terakhir. Semoga tidak mengecewakan J
            Dann akhir kata, annyeong~ jangan lupa tinggalkan jejak!



8 comments:

  1. unn, aq nangis unn,,, mnta tisuuu :'( :'(
    kren unn... keren.. speechless unn.. :'( lanjuutt

    ReplyDelete
    Replies
    1. hik hik iya kah? *sodorin tisu
      makasih sayaaang.
      siap

      Delete
  2. Wah keren eoni... aku tunggu ya next part nya.. kyk nya klo ff yg ini di bikin film'bagus ya kyk'ny..daebaaaak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih sayaang. siaaap.
      amin amin itu haha

      Delete
  3. Song ji hyo XD eon lagi suka-sukanya ama running man Πĩcĥ..... Next partnya dunk ;)

    ReplyDelete
  4. Kyaaaaa......>//< Waktu itu aku inget banget! Aku nanya sama eon, yg mati di fuchsia nanti siapa? Nah, terus eon malah jawab "egk ada yg mati kok, gak semua genre angst ada yg mati" Tapi ini apa coba? tolong jelasin? Air mataku udah kena badai cetar membahana eon! Parah ;AA T--T Onew! Gak terima aaaaaaaaaaaaaa ;AA alurnya disini kayanya kecepetan deh eon. Tapi bagus, aku tunggu kelanjutannyaaaaaaaa ;AA T--T

    ReplyDelete
  5. Aigoo.. gak sabar nunggu kelanjutanya nih eon..
    Rasanya pengen cepet cepet ngeliat next chapter-nya.. ^^ Buruan dipost ya eon :D

    ReplyDelete

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...