Nah nah nah
akhirnya saya balik lagi ^^
Sebelumnya
selamat taun baru buat readers semuanya, maap kalo author ada salah2 kata J
Langsung aja ya
kita liat cuplikan episode sebelumnya(?):
- · “Aku akan membawa semua foto dalam kotak itu kecuali yang satu ini.” Ia meletakkan sebuah foto dihadapan Yeonju. “Bawalah... ingat aku sebagai seorang sahabat yang kini menjadi kekasih sahabatmu.”
- · “Bagaimanapun juga kau lebih dulu mengenal Hyosun daripada aku. Aku tidak ingin hanya karena aku, persahabatan kalian hancur.”-Onew
- · Onew justru tersenyum, “Tentu saja aku yakin. Kau hanya perlu percaya kalau nantinya semua akan baik-baik saja Yeonju.”
- · “Maaf tapi yang terjadi selama ini hanya sebuah kebohongan. Yeonju tidak mengetahui apapun. Yang ia tahu hanya kau bahagia karena telah mendapatkanku. Apa kau kira kau pantas membenci seseorang yang sudah mengorbankan cintanya demi kau Hyosun?”
- · “Kau boleh mengucapkan apa saja yang bisa membuat Hyosun percaya. Tapi tatapanmu berkata lain.” Minho tahu benar ada maksud dari kebohongan Onew saat ini.
- · Onew menggeleng pelan. “Ini semua bukan demi Yeonju, tapi demi persahabatan mereka berdua.”
Sedikit pemberitahuan, kata2 yang bercetak tebal berarti
masa lalu. Jangan lupa juga puter backsongnya ya biar dapet feelnya wkwkwk, Dan
ini dia lanjutannya~ cekidotsss~
Tittle : Fuchsia [Part 14]
Author : Ichaa Ichez Lockets
Genre : Friendship, Romance, Angst.
Rating : T
Cast : Lee Yeonju, Kim Hyosun, Lee
Jinki (Onew), Choi Minho.
Length : Chapter
Desclaimer : This story is originally mine. This is
only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!
- 21.36 KST-
Dengan
cermat Yeonju memainkan jarinya diatas mouse. Matanya berusaha fokus mengamati
detail objek yang terpampang dilayar laptopnya. Berbagai efek sudah tertata rapi
diluar kepalanya. Kini tinggal menambahkan efek gloomy sebagai sentuhan
terakhir, maka foto itu siap dikirimkan pada Jonghyun-atasannya.
Sejenak Yeonju merenggangkan
otot-otot bahunya yang tegang karena terlalu lama berkonsentrasi pada laptop,
sampai sebuah foto yang menempel di gabus tepat belakang layar laptopnya
menarik perhatian. Entah kenapa foto itu terlihat begitu menyedihkan sekarang.
Foto itu adalah foto selca Yeonju
bersama Onew ketika Onew belum menjadi kekasih Hyosun. Foto inilah yang sempat
Onew berikan sebelum akhirnya ia pergi menemui Hyosun sebelum makan malam tadi.
Yeonju meraih foto itu kemudian
melihatnya lebih seksama. Yeonju sangat berharap usaha Onew malam ini berhasil.
Ia hanya ingin semua kembali seperti dulu, bahkan mungkin lebih baik.
Saat itulah tiba-tiba handphone
Yeonju berdering. Cepat-cepat ia meraihnya, siapa tahu itu kabar baik dari
Onew. Namun jauh dari dugaan Yeonju, telpon itu justru dari Song Jihyo, seorang
perawat rumah sakit tempat umma Yeonju dirawat. Jihyo selalu menelpon Yeonju
saat umma Yeonju ingin menemuinya, atau sedang tidak mau makan.
“Yeoboseyo...?”
“Yeonju?” suara di seberang tampak
panik.
“Wae guraeyo onni?”
“Kau masih ingat dengan temanmu yang
praktik di rumah sakit ini?”
“Ne?”
“Dia mengalami kecelakaan...”
DEG!
“... dan baru saja dibawa ke UGD
rumah sakit. Sekarang kondisinya kritis. Kulihat terjadi banyak pendarahan di
kepalanya.”
Yeonju menjatuhkan ponselnya ke
lantai. Kepalanya tiba-tiba terasa berat, lututnya melemas. Akhirnya Yeoja itu
tumbang dengan kedua tangan yang menjadi tumpuannya dilantai.
“Onew...Op-pa?”
Hampir saja Yeonju tidak mempercayai
indra pendengarannya sendiri. Bagaimana mungkin hal yang begitu mustahil bisa
tiba-tiba terjadi?
Syaraf motorik yeoja itu mendadak
tidak berfungsi. Bahkan hanya untuk berdiri membutuhkan begitu banyak tenaga
dan helaan nafas. Padahal Yeonju tahu ia harus segera bergerak sekarang juga.
Hanya berbekal sebuah jaket
baseball, sandal jepit dan celana pendek, akhirnya Yeonju tergesa menuruni
tangga apartemennya. Ia tahu benar jam segini sudah tidak ada bis yang
beroperasi. Hanya taksi, itupun tak juga kunjung lewat setelah lebih dari 10
menit ia menunggu.
Hanya tersisa satu pilihan, Yeonju
harus melewati jalan sejauh 2 blok menuju rumah sakit dengan berlari.
Pikiran Yeonju terlampau kalut. Tak
ada seorangpun yang memenuhinya kecuali Onew...Onew...dan Onew.... Semakin ia
menebak apa yang akan terjadi setelah ini, entah kenapa hatinya semakin terasa
sakit.
Saat itu pula ada sebuah memory yang
tiba-tiba menyeruak dalam pikirannya. Datang seperti sebuah flash kamera yang
kini terekam kuat dalam ingatannya.
“Jika Oppa mencintaiku, tolong jadikan
Hyosun kekasih Oppa dan lupakan semua yang terjadi diantara kita.” Ucap Yeonju
tajam, sebagai satu-satunya cara untuk membuat Hyosun dan Onew bersatu lebih
dari setahun yang lalu.
Kerongkongan Onew tersumbat. Ia tidak
sanggup mnyelesaikan kata-kata yang sebelumnya bahkan telah ia susun dengan
rapi.
“Yeonju kau...” Onew berhenti sejenak.
“...Apa kau serius?”
Yeoja berambut pendek itu mengangguk.
“Kuharap oppa tidak mendekatiku lagi.”
Kata-kata pelan dari bibir mungil
Yeonju terdengar bagai pertir yang berdentum keras di hati Onew. Meski ia
menemukan wajah yeoja didepannya ini menyimpan kesedihan, namun entah kenapa
bibirnya berkata lain.
“Aku akan melakukannya jika kau mau
menjawab pertanyaanku.” Ucap Onew memberi syarat, Yeonju hanya menaikkan kedua
alisnya.
TIIINNNN! Suara klakson mobil
tiba-tiba membuyarkan lamunan Yeonju. Hampir saja gadis itu bernasib sama
dengan Onew karena terlalu sibuk memikirkannya.
“Jeosonghamnida...” Ucap Yeonju
terengah kemudian kembali berlari menuju rumah sakit.
Helaian rambutnya terkibas naik
turun sementara kepulan asap tipis keluar dari mulutnya. Gadis itu masih
mencoba berlari meski jarak menuju rumah sakit baru tertempuh separuhnya.
Perlahan permukaan mata Yeonju mulai
basah, nafas yang meburunya terasa semakin sempit. Entah kenapa perasaannya
semakin bertambah buruk sekarang.
Yeoja itu berhenti dengan kedua
tangan yang bertumpu pada lututnya. Helaan nafas berat ia hembuskan bagai baru
saja mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di hatinya.
‘Oppa tidak boleh pergi begitu saja.
Tidak boleh!’
(backsong: In Your Eyes – Onew)
Lampu neon berwarna putih menyala
terang memenuhi setiap sudut koridor. Orang bersegaram serba putih nampak
berlalu lalang keluar masuk setiap ruangan. Tanpa berfikir Yeonju langsung
berlari menuju UGD di bagian barat rumah sakit. Ia sudah sangat hafal dengan
setiap letak ruangan di rumah keduanya itu. Meski di rumah sakit tidak pernah
menyenangkan, Yeonju merasa kali ini atmosfir tempat itu dua kali lipat lebih
‘dingin’ daripada biasanya.
Hanya tinggal kurang lebih 8 meter
Yeonju sampai di pintu ruang UGD, namun langkahnya tiba-tiba berhenti di
tikungan. Kedua matanya menangkap beberapa orang tampak panik didepan ruang
itu, sebagian besar Yeonju mengenalinya.
“Oppa jebal bertahanlah... jangan
tinggalkan aku Oppa...” Suara serak bercampur tangis terdengar jelas disana.
“Tenanglah Hyosun, dia pasti akan
selamat.”
Yeonju memutuskan untuk mundur
beberapa langkah, masih mencoba bertahan untuk tidak bersuara. Tapi tanpa
sengaja pandangan yeoja itu bertemu dengan seseorang yang berdiri disisi
Hyosun. Seketika tubuh Yeonju membeku, ia sadar bahkan ia tidak berhak berada
di tempat ini sekarang.
Saat itu juga tiba-tiba pintu UGD
terbuka, seorang dokter paruh baya keluar lebih dulu. Ia sempat melepas masker
di wajahnya sebelum memperlihatkan ekspresi yang membuat semua orang mendadak
kecewa.
“Pasien mengalami benturan keras dikepala
yang membuat banyak syaraf di otaknya mengalami kerusakan. Detak jantung pasien
juga sudah lemah sejak dibawa kemari. Kami telah berusaha semaksimal mungkin,
sayangnya Tuhan berkehendak lain...”
DEG!
Seluruh tubuh Yeonju seketika mati
rasa. Waktu seperti berhenti beberapa saat sampai teriakan yang terdengar
selanjutnya terasa begitu menyayat, sangat menyakitkan.
Hampir saja Yeonju terjatuh jika
tangannya tidak lebih dulu menopang di dinding. Ia memilih untuk merapatkan
punggungnya di dinding persimpangan, kemudian perlahan turun karena kedua
kakinya sudah benar-benar tak sanggup bertahan.
“OOPPPAAA~~”
Teriakan itu terdengar lagi. Membuat
Yeonju seketika terduduk lemas sambil terisak, menutup mulut dengan telapak
tangannya. Dada Yeonju bergetar. Matanya terpejam. Menunduk. Tangisnya tumpah
ruah.
Sulit dipercaya Onew pergi secepat
ini setelah kurang dari dua jam yang lalu ia tersenyum dan berkata semua akan
baik-baik saja seolah-olah yang terjadi akan berakhir dengan indah.
Bahkan onew pergi meninggalkan
sebuah tanda tanya besar. Tentang kebohongan sekaligus pengorbanannya untuk
Hyosun dan Yeonju. Semuanya tidak akan berakhir begitu saja. Justru sekarang
Onew dengan cepat pergi sementara begitu banyak orang-orang menantikan jawaban pasti
darinya.
Masih ada seorang yeoja yang belum
sempat membencinya, masih ada seorang yeoja yang menunggu kabar baik darinya,
masih ada seorang namja yang bahkan tidak sepenuhnya mengerti apa yang
sebenarnya terjadi. Dan Onew pergi begitu saja.
Mulai sekarang tidak akan ada lagi
namja yang menghadapi masalah dengan senyuman. Serumit apapun masalah itu ia
akan menghadapinya dan membuat orang disekitarnya percaya semua akan baik-baik
saja.
Orang itulah yang kini pergi untuk
selamanya.
Yeonju berusaha menarik nafas
panjang dan menyadari bahwa semua ini kenyataan. Ia mencoba menekan dadanya
kuat-kuat ketika sesuatu yang begitu menyakitkan bersarang disana.
Sebuah ingatan kembali muncul di
pikiran Yeonju. Ketika memikirkan itu, rasanya Yeonju tidak lagi sanggup
menampung air matanya.
“Aku akan melakukannya jika kau mau menjawab
pertanyaanku.” Ucap Onew memberi syarat.
Yeonju hanya menaikkan kedua alisnya.
“Apakah kau pernah mencintaiku
Yeonju?”
Tatapan Yeonju berubah pias, tapi ia
berusaha menjawab dengan yakin. “Tidak.”
“Jangan berbohong.”
“Aku tidak berbohong.”
Ekspresi Onew mulai melunak. “Mengapa
kau harus seperti ini Yeonju? Kau baru saja tidak hanya membohongiku, tapi juga
membohongi dirimu sendiri.” Ia membuang nafas. “Apa kau melakukan ini demi
Hyosun?”
Bahu Yeonju menurun, ditatapnya kedua
mata yang teduh itu. “Ini bukan demi Hyosun, Oppa, tapi ini demi persahabatan
kami berdua.”
***
Angin di awal musim gugur berhembus pelan melewati
sela-sela pohon menjatuhkan daun-daun kering yang telah rapuh. Seakan turut
mengiringi kesedihan di sebuah tempat dengan begitu banyak gundukan dan rumput
hijau yang menyelimutinya.
Setelah diadakan kebaktian, akhirnya
sosok itu dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Begitu banyak kerabat,
sahabat dan teman-teman yang datang. Namun tak ada satupun dari mereka yang
sanggup menebak akhir dari kisah ini. Semuanya terasa begitu cepat berlalu
hingga mereka tak diberi kesempatan untuk sekedar mengucapkan kata perpisahan.
Yeonju berdiri dibalik pohon mapple
sambil mengikuti prosesi pemakaman dari kejauhan. Tatapannya memancarkan
kepiluan, tapi tak terlihat satupun tetes menggenang disana. Rupanya air mata
yeoja itu sudah habis. Sudah terlalu puas ia menangis semalaman, dan kini yang
bisa ia lakukan hanya berdoa dan berharap yang terbaik.
Sama seperti Yeonju, Hyosun tampak
tertegun sendirian. Namja yang setia menemaninya sejak malam sampai pagi tadi
hilang entah kemana. Mungkin itulah salah satu alasan sekarang Hyosun tampak
jauh lebih terpukul ketimbang sebelumnya.
Lebih dari dua jam berselang, Yeonju
tak beranjak sedikitpun dari tempat ia berdiri. Masih menunggu momen sampai
makam itu benar-benar sepi hingga ia bisa mengeluarkan seluruh perasaannya
disana. Setelah momen itu ia dapatkan, barulah yeoja itu berjalan mendekat.
Disentuhnya batu berukirkan nama namja yang sempat menjadi cinta pertamanya
disana, hatinya mendadak kembali terasa sakit.
“Maaf aku datang terlambat Oppa...”
bibirnya mengeluarkan suara yang nyaris tak terdengar.
Tak ada jawaban tentu saja. Tapi
Yeonju masih ingin mengeluarkan isi hatinya, sebagai luapan rasa kecewa dan
tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi.
“Kenapa harus seperti ini? Kenapa
Oppa harus pergi begitu cepat?”
Meski sangat singkat, banyak
kenangan indah yang pernah Yeonju lewati bersama namja yang satu ini. Mereka sering
menghabiskan waktu bersama untuk berjalan-jalan di pinggiran sungai Han disore
hari, atau sekedar menuruti keinginan namja itu untuk mencoba beraneka macam
makanan ‘berbau ayam’ yang sangat ia gemari.
Yeonju masih ingat betul senyum
namja itu seperti sebuah sihir yang selalu membuat jantungnya berdegup diatas
normal hanya dalam hitungan detik. Melihatnya yang begitu tenang, tatapannya
yang teduh, bahkan hanya dengan melihat ia berjalan, Yeonju mendadak tidak bisa
mengendalikan dirinya sendiri karena terlalu ingin menghabiskan waktu bersama
namja itu lebih dan lebih lagi.
Tapi kenyataan yang terjadi sekarang
berlipat-lipat kali lebih menyakitkan ketimbang harus mengalahkan egonya untuk
meninggalkan namja itu demi Hyosun dulu. Karena bahkan namja itu yang kini telah
pergi untuk selama-lamanya.
“Setelah Oppa pergi, lalu siapa yang
akan memberiku kekuatan untuk menghadapi Hyosun? Bukankah Oppa bilang semua
akan baik-baik saja? Tapi...” ia membuang nafas panjang. Terpejam sejenak, dan
saat itu lah sebuah bisikan yang pernah ia dengar kembali muncul dalam otaknya.
“Apapun yang terjadi, kumohon jangan
menyerah pada Hyosun. Dan jika nanti aku tidak bisa menjaganya, maukah kau
menjaganya untukku?”
***
Sebuah bus berwarna hijau melaju
kencang melewati Itaewon menju Osan. Gadis yang duduk di pojok bus itu tampak
sangat resah, takut terlambat. Padahal ia sedang tidak memiliki janji apapun.
Bahkan tidak ada seorangpun yang memintanya untuk datang sesegera mungkin. Tapi
ia tahu ia harus bergerak cepat sekarang juga.
Begitu banyak tanda tanya dibalik
wajah Yeonju. Mengapa Onew sempat memintanya untuk tidak menyerah? Mengapa Onew
mengatakan semua akan baik-baik saja? Dan mengapa Onew mengatakan semua itu
seolah-olah ia tahu apa yang akan terjadi dan mempercayakan semuanya pada
Yeonju untuk menyelesaikan semua hal yang belum sempat ia selesaikan?
Terdengar tidak masuk akal, namun
itu satu-satunya petunjuk yang bisa Yeonju pahami. Yang penting sekarang
adalah, Yeonju harus segera memenuhi pesan Onew bagaimanapun caranya.
Dengan penuh keyakinan Yeonju
berdiri di depan pintu rumah Hyosun. Diluar dugaan, bukan ahjumma pembantu
Hyosun yang membukakannya melainkan umma Hyosun sendiri.
“Oh annyeonghaseo Ommoni.” Yeonju
membungkuk spontan. Wanita berambut
pendek dengan perhiasan yang mencolok di bagian leher dan telinganya itupun
sedikit mengangguk kemudian mempersilakan Yeonju masuk dan duduk di ruang tamu.
“Lama tidak bertemu Yeonju. Sepertinya
aku juga tidak melihatmu di pemakaman tadi. Ada apakah gerangan?” tanya umma
Hyosun tanpa berbasa-basi karena sudah menganggap Yeonju seperti putrinya
sendiri.
“Oh mianhamnida Omonim, ada sedikit
kesalahpahaman antara aku dan Hyosun. Jadi untuk sementara aku tidak bisa
menemuinya.”
Alis umma Hyosun berkerut. “Hyosun
ngambek lagi? Apa dia menyakitimu?” justru beliau mengkhawatirkan Yeonju karena
sudah sangat mengenali sifat putrinya yang sering marah hanya karena masalah
yang sepele.
“Animnida Omonim, aku yang salah.
Sudah seharusnya aku meminta maaf sejak kemarin.” Sesal Yeonju kemudian
menunduk.
“Sudahlah tidak apa-apa. Lagipula
tadi malam kalian berdua pasti lebih memikirkan yang terjadi pada Jinki
ketimbang masalah kalian berdua sendiri.” Umma Hyosun terdiam sejenak. “Tidak
disangka anak sebaik Jinki harus pergi secepat ini. Padahal Hyosun sempat
menceritakan padaku kalau Jinki baru saja mengajaknya menikah.” Lanjutnya bersandar
pada sofa.
“Lalu bagaimana keadaan Hyosun
sekarang Omonim? Sepertinya dia sangat terpukul...” Yeonju menyesal sejak
kemarin tidak hadir menemani Hyosun di saat-saat tersulitnya. Sahabat macam apa
dia ini?
“Kau pasti tahu bagaimana Hyosun.
Tentu saja ia tidak berhenti menangis... tidak mau makan... tidak mau diganggu...
Mungkin memang sudah saatnya kau menemuinya sekarang.”
Yeonju menangguk. “Apa Hyosun ada
dikamarnya?”
“Tadi dia sempat mengunci pintu.
Tapi kau bisa membukanya dengan ini.” Umma Hyosun memberi Yeonju kunci cadangan
kamar Hyosun. “Good luck!” ucapnya kemudian tersenyum tipis.
Lantas Yeonju langsung beranjak dari
ruang tamu, melewati tangga lantai dua, kemudian menuju ke kamar Hyosun yang
terletak di ujung. Ia sempat mengetuk dan memanggil nama Hyosun beberapa kali,
namun tak ada yang menyahut. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk masuk.
“Hyosun...” panggil Yeonju hati-hati
sambil membuka pintu. Disebarnya pandangan mengelilingi kamar yang luas itu.
“Hyosun...” panggil Yeonju lagi.
Tetap tidak ada yang menyahut,
membuat Yeonju kemudian melangkah masuk dan mendekati tempat tidur Hyosun.
Biasanya Hyosun akan duduk di karpet
bulu dan menyandarkan badannya di tempat tidur sambil menulis buku diary sampai
tertidur. Tapi bahkan saat Yeonju mengecek tempat itu, Hyosun tetap tidak
ditemukan.
“Kau dimana Hyosun? Apa kau tidak
mau menemuiku?” Yeonju beranjak ke balkon, masih kosong. Kemudian ia memutuskan
untuk membuka pintu kamar mandi yang ternyata tidak dikunci.
“YA TUHAN!! HYOSUN!!”
Yeonju menemukan Hyosun tengah tak
sadarkan diri di bath up yang penuh dengan air. Tangannya terjulur, pergelangan
yeoja itu tampak tergores dan meneteskan banyak darah yang membuat lantai
seketika berubah warna menjadi merah. Bahkan wajah Hyosun memutih, pucat pasi,
seperti tidak ada darah yang mengalir di bawah permukaan kulitnya. Entah sudah
berapa lama yeoja itu disana hingga kondisinya sekarang terlihat begitu
mengerikan.
“Hyosun! Hyosun sadarlah!” Yeonju
menggoyangkan tubuh dingin Hyosun dengan panik. Tapi sayangnya tak ada reaksi
sedikitpun, membuat Yeonju semakin takut akan kembali kehilangan seseorang yang
ia sayangi.
“Hyosun kumohon... HYOSUN!!!”
-To
Be Continue-
wowowow nasib onew buruk banget, dan
sekarang Hyosun malah bunuh diri -_- *sigh.
Sebenernya pas aku nulis bagian
pemakaman itu rada kerasa aneh, jadi di part itu samaa sekali aku ngga nyebut2
nama Onew. Jadi diganti ‘namja itu’ ato ‘namja yang pernah jadi cinta
pertamanya’. Ga tega kalo dikasih nama Onew. Tapi pasti pada ngerti yang
dimaksud kan?
Kemaren aku sempet baca2 fucshia
yang part2 sebelumnya, ternyata disitu aku nemuin dua kesalahan. Wkwkwk, bukan
yang berkaitan sama jalan cerita. Tapi... eung adakah yang bisa menemukan? Ntar
aku kasih hadiah deh. Kkkk
Oiya, buat yang udah nonton trailer
fuchsia (ceilah!) disana ada beberapa poin yang udah terjawab. Yang pertama
tentang kejadian masa lalu, kejadian masa lalu nya tentu aja hubungan Onew dan
Yeonju. Yang kedua, siapakah yang akan mengalah? Jawabannya bukan Hyosun ato
Yeonju, tapi Onew. Hiks hiks. Yang ketiga, persahabatan atau cinta yang mereka
pilih? Jawabannya bagi Yeonju tentu aja persahabatan, dan Hyosun masih abstrak
-_-
Cuma tinggal satu pertanyaan, apakah
persahabatan mereka akan bertahan?
Nah itu akan terjawab di part
berikutnya. Tapi lebih ke pertanyaan, Hyosun bakalan idup ato engga? Terus
Minho (*jangan lupain namja yang satu ini), apa bakalan berakhir sama Hyosun
ato Yeonju? Dan gimana dengan pertengkaran antara fakultas kedokteran sama
fotografi? *yang ini juga udah lama ga dibahas -_-
Semuanya bakalan dijawab di part
selanjutnya yang adalah part ENDING alias terakhir. Semoga tidak mengecewakan J
Dann akhir kata, annyeong~ jangan
lupa tinggalkan jejak!
unn, aq nangis unn,,, mnta tisuuu :'( :'(
ReplyDeletekren unn... keren.. speechless unn.. :'( lanjuutt
hik hik iya kah? *sodorin tisu
Deletemakasih sayaaang.
siap
Wah keren eoni... aku tunggu ya next part nya.. kyk nya klo ff yg ini di bikin film'bagus ya kyk'ny..daebaaaak...
ReplyDeletemakasih sayaang. siaaap.
Deleteamin amin itu haha
Song ji hyo XD eon lagi suka-sukanya ama running man Πĩcĥ..... Next partnya dunk ;)
ReplyDeletehaha iya bener banget!
Deletesiaaap
Kyaaaaa......>//< Waktu itu aku inget banget! Aku nanya sama eon, yg mati di fuchsia nanti siapa? Nah, terus eon malah jawab "egk ada yg mati kok, gak semua genre angst ada yg mati" Tapi ini apa coba? tolong jelasin? Air mataku udah kena badai cetar membahana eon! Parah ;AA T--T Onew! Gak terima aaaaaaaaaaaaaa ;AA alurnya disini kayanya kecepetan deh eon. Tapi bagus, aku tunggu kelanjutannyaaaaaaaa ;AA T--T
ReplyDeleteAigoo.. gak sabar nunggu kelanjutanya nih eon..
ReplyDeleteRasanya pengen cepet cepet ngeliat next chapter-nya.. ^^ Buruan dipost ya eon :D