Pages

Friday, 25 January 2013

FF SHINee : Fuchsia [Part 15/END]


*buka tirai* *nongol author bareng Onew*
Berdua                   : hallo readers dimanapun berada, ketemu lagi di fuchsia part terakhir.
Author                  : loh Onew bukannya di part kemaren kamu udah… *mikir*
Onew                   : Itu kan di cerita, di kehidupan nyata aku masih setia nemenin author dong. #gagalgombal
Author               : Hehehehe sip. Balik lagi ke topic utama. Gak kerasa akhirnya fuchsia nyampe di part terakhir setelah sekitar 10 bulan eksis di FB author(?) sejak april 2012. Hohoho
Onew               : bener banget thor, part terakhir ini merupakan jawaban dari semua pertanyaan part2 sebelumnya.
Author                : Yap, dan penyelesaian itu tidak harus rumit, tergantung dari cara berfikirnya kan? Hihihi
Onew                   : sebelum kit abaca, yuk intip part sebelumnya, cekidot>>>
  • ·          “Pasien mengalami benturan keras dikepala yang membuat banyak syaraf di otaknya mengalami kerusakan. Detak jantung pasien juga sudah lemah sejak dibawa kemari. Kami telah berusaha semaksimal mungkin, sayangnya Tuhan berkehendak lain...”
  • ·         Sulit dipercaya Onew pergi secepat ini setelah kurang dari dua jam yang lalu ia tersenyum dan berkata semua akan baik-baik saja seolah-olah yang terjadi akan berakhir dengan indah.
  • ·         Setelah diadakan kebaktian, akhirnya sosok itu dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Begitu banyak kerabat, sahabat dan teman-teman yang datang. Namun tak ada satupun dari mereka yang sanggup menebak akhir dari kisah ini. 
  • ·          Yeonju menemukan Hyosun tengah tak sadarkan diri di bath up yang penuh dengan air. Tangannya terjulur, pergelangan yeoja itu tampak tergores dan meneteskan banyak darah yang membuat lantai seketika berubah warna menjadi merah. Bahkan wajah Hyosun memutih, pucat pasi, seperti tidak ada darah yang mengalir di bawah permukaan kulitnya.

Onew & author             : nah itu dia cuplikan part sebelumnya. Akhir kata, happy reading! *pelukan samping sambil lambai2 tangan ._.





Tittle                    : Fuchsia [Part 15/END]
Author                                : Ichaa Ichez Lockets
Genre                  : Friendship, Romance, Angst.
Rating                 : T
Cast                      : Lee Yeonju, Kim Hyosun, Lee Jinki (Onew), Choi Minho.
Cameo                 : Song Jihyo, Lee Taemin.
Length                : Chapter
Desclaimer        : This story is originally mine. This is only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!


                Sirine ambulance yang berbunyi nyaring seketika membelah kepadatan kendaraan yang memenuhi setiap jengkal jalan menuju rumah sakit. Didalamnya berbaring kaku tubuh Hyosun dengan selang infuse serta selang yang terhubung dengan tabung oksigen. Tepat disamping yeoja itu terlihat Yeonju yang terduduk kaku tanpa mengucapkan sepatah katapun.
                Kaos Yeonju yang semula berwarna ungu pastel penuh dengan noda bercak kemerahan. Tangan yeoja itu gemetaran, jantungnya bahkan memompa dua kali lebih cepat dari biasanya melihat perawat dengan cekatan memberikan pertolongan pertama pada Hyosun.
                Sementara itu sebuah mobil mewah mengekor dibelakang mereka. Mobil itu berisi umma dan appa Hyosun tentu saja. Sejak tadi umma Hyosun tak henti-hentinya menangis saat mengetahui keadaan Hyosun yang begitu mengenaskan seperti sekarang.
                Dua puluh menit perjalanan yang terasa bagai setahun itu akhirnya berakhir juga. Cepat-cepat perawat menurunkan tempat tidur Hyosun dan membawanya ke unit gawat darurat. Tenggorokan Yeonju seketika tercekat melihat pintu dengan kaca dop berwarna putih tertutup. Sampai situlah langkahnya terhenti, dan berikutnya hanya sanggup menunggu kemungkinan yang akan terjadi.
                “Hyosun-ah~ kenapa kau melakukan ini sayang?” sesal umma Hyosun sambil menangis. “Jika aku mengetahuinya dari awal, pasti tidak akan terjadi seperti ini yeobo…” ucapnya pada appa Hyosun. Bagaimanapun juga perbuatan nekat Hyosun ini tidak pernah terlintas sedikitpun di benak semua orang, termasuk umma Hyosun dan sahabatnya, Yeonju.
                Peristiwa mengejutkan yang sama, tempat yang sama, suasana yang sama, perasaan takut yang sama. Yeonju tidak pernah berfikir semuanya akan terjadi seperti ini. Tadi malam baru saja Yeonju kehilangan orang yang ia sayangi, sekarang iapun harus mengulang kembali semua kepahitan itu.
                Yeonju terduduk lemas dipinggiran koridor sementara semua penyesalan umma Hyosun membuat hatinya bertambah buruk. Tapi ia tidak ingin menangis, belum. Hatinya terasa begitu sakit, namun untuk kali ini dia berusaha tidak menangis, meski ia tidak tahu sampai kapan ia bisa bertahan.
                “Keluarga saudari Hyosun?”
                Suara seorang perawat mengalihkan perhatian Yeonju serta appa dan umma Hyosun.
                “Iya kami keluarga Hyosun dokter.”
                “Pasien kehilangan banyak darah. Kebetulan stok golongan darah B di rumah sakit ini habis. Kami membutuhkan pendonor untuk pasien.”
                “Biar saya saja Sus.” Tawar Yeonju.
                “Tidak, ambil darah kami saja Sus.” Usul ayah Hyosun menunjuk dirinya dan umma Hyosun. Umma Hyosun pun menyetujuinya.
                Perawat itu mengamati mereka bertiga, “Kami membutuhkan dua kantong darah. Karena kondisi ibu sedang shock, jadi sebaiknya bapak dan agashi saja yang ikut saya. Bapak bergolongan darah apa?”
                “Saya B.”
                “Agashi?”
                “O.”
                “Baiklah, ikut saya sekarang.”
                Mereka berdua lantas berpindah ke lantai dua, dimana terdapat sebuah ruangan untuk donor darah. Yeonju berbaring diatas tempat tidur dan menatap langit-langit kamar sementara sebuah selang mengalirkan darah merahnya.
                Gadis itu terpejam sesaat. Saat itulah ia teringat akan percakapannya bersama Hyosun saat mereka masih duduk di sekolah menengah.
                “Yeonju, jika aku hampir terjatuh di ujung tebing seperti di film itu…” Hyosun menunjuk televisi yang ada diruang tengah dengan ekor matanya, “Apa kau mau menolongku?”
            Yeonju menoleh sambil meletakkan remote tv dipangkuannya, “Tentu saja aku akan menyelamatkanmu?”
            “Tapi kalau kau sedang tidak ada disana?”
            “Aku akan berlari untuk menyelamatkanmu.”
            “Bagaimana kalau gara-gara usahamu menyelamatkanku, justru kau sendiri yang jatuh?” tanya Hyosun lagi sambil mengambil keripik dari dalam toples. Jawaban Yeonju membuatnya tertarik.
            “Tidak apa-apa.”
            Dahi Hyosun berkerut.
            “…karena aku tahu kau tidak akan membiarkan itu terjadi.”
            Tawa Hyosun meledak, “Kalau kau jatuh gara-gara menyelamatkanku, maka akupun akan menerjunkan diriku untuk menyusulmu.”
            “Ya! Jangan melakukan itu. Sama saja aku sia-sia menyelamatkanmu Hyosun~”
            “Hehehe…” Hyosun nyengir sambil terus memakan keripik kesukaannya.
                “Nona Yeonju?” panggil seorang perawat yang membuat Yeonju seketika membuka matanya.
                “…proses donor darah sudah selesai.”
                Yeonju melirik ke arah tangan kanannya, disana hanya terlihat buntalan kapas kecil yang direkatkan dengan sebuah plester. Perlahan yeoja itu bangkit kemudian berjalan mendekati pintu. Disana sudah tersedia satu gelas susu hangat dan beberapa makanan yang sengaja disiapkan untuk pasien donor darah agar energinya kembali pulih.
                Yeonju merasa tubuhnya sedikit aneh, tapi ia mencoba terus berjalan keluar melintasi koridor menuju UGD di lantai 1. Awalnya yeoja itu merasa lampu koridor sangat silau tapi lama-lama justru mengabur. Apapun obyek yang ada disekitarnya berubah menjadi blur. Saat itulah badan Yeonju melemas, kepalanya berat dan tatapannya berkunang-kunang, sementara kedua kakinya tak lagi bertenaga.
                Hampir saja Yeonju ambruk jika tidak ada kedua tangan yang memeluk tubuhnya dengan segera.
                “Yeonju gwenchana?” suara itu tak mungkin Yeonju lupakan, bahkan meski kalimat terakhir yang Yeonju dengar dari suara itu sangat menyakitkan, ia akan tetap mengingatnya.
                Yeonju mendongak menatap seseorang yang 15 cm lebih tinggi darinya. Raut wajah namja itu tidak terlihat jelas, hanya tatapan cemasnya yang sanggup Yeonju tangkap.
                Namja itu lantas menuntun Yeonju menuju kursi dipinggiran koridor dan mendudukannya disana.
                “Naneun gwenchana, sunbaenim.” Jawab Yeonju datar.
                “Sampai kapan sifat keras kepalamu itu tidak hilang Yeonju?” Minho menyerahkan segelas coklat hangat yang sudah ia beli sebelumnya pada Yeonju. Ia menyesalkan Yeonju yang tidak mengambil minuman yang diberikan rumah sakit dan membuat tubuhnya lemah seperti sekarang.
                Tak ada jawaban. Tatapan Yeonju justru terjatuh pada segelas coklat hangat itu, kemudian diminumnya  sedikit demi sedikit.
Suasana yang hadir selanjutnya terasa janggal, begitu canggung. Minho terdiam melihat noda darah yang ada di kaos Yeonju lama sekali, lambat laun tatapannya berubah pilu. Ia sanggup membaca betapa Yeonju sangat menghawatirkan sahabatnya itu.
Tiba-tiba Yeonju merasa tubuhnya disandarkan disebuah bahu, sementara tangan itu melingkar di tubuhnya kemudian mengusap rambutnya dengan lembut. Seperti ada sebuah getaran yang menjalar melewati aliran darah Yeonju. Dadanya bergejolak. Belum pernah Yeonju mengalami perasaan seperti ini sebelumnya.
                “Tidak apa-apa, Hyosun pasti akan baik-baik saja.” ucap Minho mengetahui pikiran Yeonju. “Kau sudah memberikan yang terbaik yang kau bisa Yeonju, jadi kau tidak perlu khawatir.”
                Yeonju menutup matanya, tak langsung menjawab. Kehangatan yang ia rasakan terlalu nyaman untuk ia lewatkan begitu saja.
                “Apa kau takut?” tanya Minho lirih.
                Jawabannya tentu saja ‘ya’. Sampai detik ini Yeonju masih belum sanggup menerima kepergian Onew, tidak mungkin ia membiarkan hal yang sama terjadi pada Hyosun. Membayangkannya saja Yeonju ngeri, apalagi melewatinya. Yeonju yakin jika hal itu benar-benar terjadi, dia tidak akan sanggup melewati sisa hidupnya dengan tenang.
                Jika saja Yeonju bisa menukar posisi Hyosun dengan dirinya, tanpa berfikir dua kali Yeonju pasti akan melakukannya.
“Aku belum siap kehilangan dua orang sekaligus sunbaenim…” Ia menarik nafas tertahan. “Aku… tidak akan pernah siap.”
                Mendengar ucapan itu, Minho semakin merengkuh Yeonju kedalam pelukannya. “Hal itu tidak akan terjadi Yeonju. Percayalah padaku.”
                Entah kenapa kedua mata Yeonju terasa memanas, meski ia mencoba untuk meredamkan perasaan itu, air yang mengalir di sudut matanya kini tidak sanggup ia tahan lagi. Dan saat itulah Minho menyadari sesuatu. Sekeras apapun sisi yang selama ini Yeonju perlihatkan padanya, ternyata sisi lain dari itu justru lebih rapuh. Lebih mudah untuk hancur.
                Minho sendiri tidak percaya ia pernah membenci seseorang yang ada dalam pelukannya ini. Ia bahkan sempat merasa tidak mengenali dirinya sendiri karena telah mengambil keputusan tanpa berfikir lebih dulu. Jika saja Minho mempercayai atau setidaknya ‘mendengarkan’ nasihat seorang peramal waktu itu, mungkin penyesalan yang ia miliki tidak akan sebesar sekarang.
                “Maaf.” Hanya sebuah kata singkat dengan nada penuh sesal yang terdengar selanjutnya. “Maaf karena tidak percaya padamu, Yeonju.”
                Yeonju mendongak menangkap tatapan Minho, kemudian ia usap air mata dengan punggung tangannya.
“Apa sunbaenim tidak marah padaku lagi?”
                Minho justru tersenyum, “Jika aku masih marah padamu, tidak mungkin tadi aku mengangkat telfonmu dan langsung datang kemari Yeonju.”
                Benar tadi Yeonju sempat menelfon Minho sebelum ambulance datang. Ia terlalu panik. Selain Onew, hanya Minho yang sanggup ia pikirkan saat itu.
                “Apa aku terlambat?”
                Terlambat untuk mengetahui keadaan Hyosun? Yeonju menggeleng.
                “Jika Jinki masih hidup mungkin aku memiliki kesempatan untuk minta maaf padanya…” Ucap Minho tertunduk. “…Aku tidak memberi Jinki sedikit saja waktu untuk berbicara dan bahkan langsung menghajarnya. Sampai terakhir kali aku melihatnya, pengakuannya membuatku terperangah. Dia rela Hyosun membencinya demi mengembalikan persahabatan kalian berdua. Saat itulah aku berfikir pandanganku terhadapnya-lah yang salah.”
                Yeonju menegakan posisi tubuhnya dan menatap Minho tidak percaya.
                “…Dan apa kau tahu apa kalimat terakhir yang ia ucapkan padaku? Ia memintaku untuk menjagamu dan Hyosun. Dia bilang dia percaya padaku. Dia… percaya padaku.”
                Hampir saja Yeonju bertanya lebih lanjut, namun belum sempat ia membuka bibirnya, ada seorang perawat yang mendekat.
                “Yeonju, kenapa kau masih disini?” tanya perawat bernama Song Jinhyo itu. “Bukankah kau sedang menunggu Hyosun di ruang UGD? Kulihat dr. Kim tadi sudah keluar dari sana.”
                “Jeongmalyo eonni? Lalu bagaimana keadaan Hyosun sekarang?”
***
                -18 Juli 2016-
                Dari kejauhan terlihat seorang gadis dengan blazer hitam tampak terduduk sambil menaburkan bunga ke sebuah makam. Sorot mata gadis itu memancarkan kepiluan, bibirnya sedikit bergetar, mencoba menahan gejolak yang menyerang dalam dadanya. Rasa sakit, sedih dan kecewa yang mendera gadis itu beberapa tahun silam seakan kembali muncul menyapa diding hatinya, hingga kini dengan jelas dapat ia rasakan kembali.
                Yeoja yang sebelumnya paling ia sayangi didunia ini harus pergi setelah seluruh hidup Yeonju perjuangkan hanya untuknya.
                Yeonju tersenyum miris mengusap batu nisan bertuliskan nama yeoja itu. Air matanya kembali tergenang. Tapi sekali lagi ia mencoba untuk tegar karena bagaimanapun juga kehidupan tidak akan berhenti sampai disini. Masih banyak yang harus ia perjuangkan.
                Saat itulah Yeonju merasakan ada seseorang yang meremas lembut bahu kirinya. Yeonju menoleh kemudian tersenyum, “Apa oppa sudah terlalu lama menunggu?”
                Namja yang sebelumnya pernah mendapat panggilan ‘sunbaenim’ itu menggeleng, “Ani. Hanya mengingatkan kalau sebentar lagi malam tiba.”
                Yeonju mendongak ke atas, benar kata namja itu, tidak terasa ternyata langit sudah gelap.
                “Mian aku tidak menyadarinya.” Ucap Yeonju lalu bangkit, “Kalau begitu kita pulang sekarang saja ya Oppa?”
                Minho mengangguk kemudian menggandeng Yeonju menuju halte. Setelah bus datang, ia mempersilakan Yeonju duduk di pojok dekat jendela sementara ia duduk di sampingnya.
                “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Minho melihat Yeonju tampak tercenung mengamati pepohonan di pinggir jalan.
                Yeonju menoleh, “Tidak ada Oppa.”
                Mendengar jawaban Yeonju, Minho menghela nafas panjang. “Sudah 3 tahun lebih kau menjadi yeojachinguku, tidak mungkin aku tidak tahu kau sedang berbohong.”
                Sudut bibir Yeonju melengkung namun tatapannya masih terlontar keluar jendela, “Aku memikirkan Hyosun…” Ia menoleh ke arah Minho, “dan Oppa…”
                “Sudah kuduga kau pasti sedang memikirkanku.” Ucap Minho narsis. “Tapi Hyosun…?”
                Yeonju tertawa kecil melihat reaksi Minho, bibirnya kembali berujar, “Bukan seperti itu… Tapi eung… ini tentang kejadian di masa lalu. Mungkin memang wajar jika dulu Oppa memilih untuk membela Hyosun dan menuduhku yang tidak-tidak. Tapi saat melihat Oppa menghajar Onew Oppa karena Hyosun, itu sedikit… menakutkan.”
                “Apa karena itu kau dulu berfikir aku menyukai Hyosun?”
                “Itu…”
                Jemari Minho lantas menggenggam tangan Yeonju erat, saat itulah terlihat sebuah gelang berwarna ungu dan merah saling berdekatan, “Jawabannya sederhana, aku memilih untuk membela Hyosun karena aku paling tidak bisa melihat yeoja disakiti orang lain–terutama namja. Sama seperti ummaku yang ditinggal selingkuh oleh appaku, aku tidak bisa membiarkan Hyosun bernasib serupa. Dan jika kau yang ada diposisi Hyosun, akupun akan melakukan hal yang sama.” Ia kemudian tersenyum. “Kenapa kau baru bertanya sekarang?”
                “Ani, aku…” Yeonju menggantungkan kalimatnya. “Hanya penasaran.” Ucapnya berbohong, padahal bukan itu yang ada dalam pikirannya.
                “Hanya penasaran atau karena cemburu?” goda Minho membuat pipi Yeonju seketika berubah merah.
                “Oh kita sudah sampai apartemenku Oppa!” cepat-cepat Yeonju bangkit dan turun dari bus sebelum wajahnya semakin memerah. Sedangkan Minho hanya mengusap puncak kepala Yeonju ketika ia dan Yeonju turun.
                Mereka berjalan pelan menaiki tangga kemudian melewati koridor, tepat ketika Yeonju membuka pintu, ada sesuatu yang membuat ia terkejut.
                “SURPRISE!!!” teriak seseorang sambil menyalakan lampu.
                “Aigoo Hyosun? Kau apakan apartemenku?”
                Suasana apartemen yang semula ‘apa adanya’ itu mendadak berubah menjadi serba ungu. Sofa besar, meja kerja, serta tembok dan hiasan dinding kini bernuansa warna kesukaan Yeonju. Bahkan korden dan gantungan lampu pun berwarna senada. Dan tak hanya di ruang tengah, tapi juga kamar tidur, dapur, dan kamar mandi, semuanya bernuansa ungu.
Sesuatu yang sangat menarik perhatian adalah ratusan foto yang terpanjang di dinding belakang sofa, persis seperti yang ada di apartemen Minho. Didalamnya terdapat banyak foto Hyosun, Yeonju, dan beberapa foto Onew bersama Yeonju dulu.
“Apa semua ini kau yang melakukannya?” tanya Yeonju pada Hyosun.
“Hehehe.” Ia mengangguk, “Dengan ‘sedikit’ bantuan dari beberapa tukang cat, tukang property, arsitek…” Hyosun tampak menghitung dengan jarinya. “Dan…” kerlingan matanya menunjuk ke arah Minho.
“Oppa juga ikut merencanakannya?”
 Minho menggaruk tengkuknya sambil bersiul melihat ke langit-langit kamar.
“Jadi Oppa seharian ini mengajakku jalan-jalan dan ke makam umma untuk memberi kesempatan Hyosun melakukan semua ini?”
Buru-buru Hyosun memeluk sahabatnya dari samping, “Jangan marah dulu Yeonju, ini ideku. Ideku!”
Minho mengangguk setuju.
“Tapi semuanya belum selesai sampai disini. Masih ada acara inti.” Hyosun bergegas mengambil sesuatu dari dalam kamar.
“Saengil chukkahamnida~ Saengil chukkahamnida~” yeoja itu datang bersama sebuah kue tart dengan nyala lilin bertuliskan angka 23.
“Selamat ulang tahun Yeonju.” Ucap Minho.
“Ayo-ayo make a wish!”
Yeonju sempat melihat ke arah Hyosun dan Minho bergantian kemudian menutup matanya.
Yeonju merasakan hari ini berjalan seolah mimpi. Seperti baru saja ia kehilangan Onew disusul oleh kematian ummanya yang menyakitkan satu tahun kemudian, namun begitu banyak kejadian menyenangkan yang terjadi berikutnya.
Perselisihan antar fakultas kedokteran dan fotografi tidak ada lagi. Setelah Onew pergi, ayah Onew selaku rektor memberi perlakuan yang sama pada semua fakultas–seperti permintaan yang sejak dulu Onew inginkan. Bahkan rektor mengakui Minho sebagai lulusan terbaik dari fakultas fotografi, menyusul kelulusan Hyosun dan Yeonju di tahun selanjutnya.
Dengan bakat dan kemampuan Minho yang cemerlang, Jonghyun–atasan Yeonju sekaligus teman lama Minho–memperkenalkannya pada sebuah majalah besar. Kini Minho memiliki studio foto sendiri dengan klinik kesehatan di lantai pertama.
Jadi Hyosun membeli bangunan dua lantai, lantai satu bangunan itu dipakai untuk klinik dokter umum milik Hyosun, sementara lantai dua adalah studio foto milik Minho dengan Yeonju yang menjadi co-fotografernya.
Setelah umma Yeonju meninggal, orang tua Hyosun sempat berniat untuk mengadopsi Yeonju. Meski Yeonju menolak, keluarga Hyosun sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Hyosun pun lebih sering tinggal di apartemen Yeonju ketimbang di rumahnya.
Sayangnya sampai sekarang Hyosun belum mendapatkan pengganti Onew. Padahal ada rekan di bangku kuliah Hyosun yang menaruh hati padanya. Seorang pemuda yang sangat sopan dan cerdas. Namja bernama Taemin itu sudah lama mengejar Hyosun, namun sepertinya nama ‘Onew’ masih memenuhi tempat di hati yeoja itu.
Dan kini Yeonju tidak berharap banyak. Ia hanya ingin orang-orang yang dicintainya akan senantiasa menemaninya. Dengan demikian Yeonju yakin kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya.
“Fiuhh...” dalam sekali tiupan lilin itupun padam.
Yeonju menunduk, bola matanya mulai basah, “Lalu sekarang, bagaimana caranya aku membalas kebaikan kalian berdua?”
Hyosun langsung memeluk sahabatnya dengan erat, “Cukup menjadi Yeonju yang apa adanya, ne?”
Minho hanya sanggup tersenyum melihat kedua yeoja didepannya, “Kau belum menerima kado dariku Yeonju.” Ucapnya kemudian meraih sesuatu dari atas meja. “Ini.”
Tatapan Yeonju berubah bingung, apa maksudnya kamera Yeonju sendiri Minho berikan sebagai sebuah hadiah?
Melihat ekspresi Yeonju, Minho justru tertawa geli. “Bukan kamera itu, melainkan aku.”
Dahi Yeonju berkerut.
“...Untuk pertama dan terakhir kalinya kau boleh mengambil gambarku dengan kamera ini. Hanya kali ini saja.”
“Ah! Arraso...arraso...” Hyosun merebut kamera itu dari tangan Yeonju, “Sekarang kalian berdua pegang kue tart ini. Lalu berdiri disana, aku yang akan mengambil foto kalian berdua… Siap?”
Yeonju dan Minho sempat saling menukar pandang, tapi pada akhirnya mereka menuruti apa kemauan Hyosun dan KLIK! Jadilah selembar foto dengan Minho yang tersenyum hangat memeluk Yeonju dari samping dan Yeonju yang tersenyum tipis. Mereka berdua tengah mengangkat sebuah kue tart dengan angka 2 dan 3 diatasnya.
Mulai sekarang Yeonju sadar, meski begitu banyak cobaan yang membuat ia ingin menyerah, pada akhirnya ia akan tetap kembali pada Hyosun. Karena baik Yeonju maupun Hyosun tahu, bahwa disaat terlalu menyakitkan untuk melihat kebelakang dan takut untuk melihat kedepan, mereka akan melihat ke samping dan menemukan sosok sahabat berdiri disana.
Sahabat bukan hanya seseorang yang hadir dalam waktu yang lama, bukan juga seseorang yang akan mengangguk jika kita memintanya berkata ya. Tapi sahabat adalah seseorang yang akan mengingatkan ketika kita berbuat salah, yang akan menutup jika kita memiliki lubang, dan yang masih bisa kita lihat meski kita sedang terpuruk di dasar jurang maupun terbang diatas awan.
Dan jika saja Hyosun bukan merah muda dan Yeonju bukan ungu, persahabatan mereka berdua akan tetap melebur layaknya ‘fuchsia’.
-The End-

                AKHIRNYA!!!!
                Setelah penantian(?) panjang selama 10 bulan akhirnya FF ini kelar juga. *tarik nafas panjang.
                Sekedar info(?), jadi ceritanya pas Yeonju abis donorin darahnya itu Hyosun terselamatkan dan memafkan kesalahan Yeonju. Minho pun bantu ngelarin semua masalah (dengan pengetahuannya(?) tentang kebohongan Onew). Terus pemakaman yang Yeonju datengin itu pemakaman ummanya Yeonju yg udah sakit lama banget. Daan seperti yang diharapkan banyak readers, Minho berakhir dengan Yeonju jadi sepasang kekasih. #ceilah
                Dan Taemin, dia Cuma numpang nongol nama doang. Wkwkwk
                Oiya soal kesalahan(?) di part sebelumnya, ga ada yang berhasil nebak T.T jadi aku kasih tau apa aja kesalahannya ya. Yang pertama, aku sempet gambarin kalo rumahnya Hyosun itu bergaya minimalis, tapi di part 13 malah jadi bergaya eropa wkwkwk. Kedua, aku certain kalo apartemennya Yeonju itu punya lift, tapi di part 12 malah aku certain ga ada lift xD. Pada ga nyadar kan? Aku aja ga nyadar :p
                Dengan berakhirnya FF yang sangat-menguras-tenaga,-waktu,-pikiran,-dan-duit(?) ini, saya selaku author mengucapkan beribu terimakasihhhh. *ngirim parsel ke rumah readers masing2*. Makasih atas semua kritik, saran, masukan, komen dan like. Makasihhh banget!
                Dan setelah ini mungkin aku bakalan focus ke skripsi, udah ga ada tanggungan lagi. Doain ya semuanya biar skripsiku lancar. Amin.
untuk next FF, maaf belum bisa janji apa-apa :(
akhir kata, annyeong~~~
               
 



8 comments:

  1. First kah? Kyaaaaaaaaaaa mau foto bareng Minho kkk~ Happy ending \(^0^)/ suka suka suka! :D

    ReplyDelete
  2. kereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnnnnnnnnnnnnnn!!!!!!!!!!!
    akhirnya kelar juga bacanya.. seru , menegangkan , sedih , kesel, senyum" sendiri ,..huuft ..berbulan-bulan saya menunggu lanjutan-lanjutan-lanjutan sampai pada akhirnya the end..^0^

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasihhhh
      haha iya udah lama banget ya dari part 1

      makasih banyak udah mau ngikutin ^^

      Delete
  3. keren eon, tp sad ending ni bwt psngan hyosun ma onew
    daebak deh bwt eonni

    ReplyDelete
  4. akhirnya selesai juga bacanya,,
    makasih y eoni , sukaaaaaaaaa banget sma endingnya....

    ReplyDelete
  5. Unni,, kyaaa,, bgs bgt! Skrg hobi baruku bc ff *gk da yg nanya* gr 2 bc ffnya unni... Daebak! Trus bkin ff lg yaaa ^^

    ReplyDelete