Thursday, 9 November 2017

FF OngNiel Wanna One : Serenity [Part 12]

Annyeonghaseyo~~
Maap ya rada telaat publishnya, lanjut ke part 12 hehehe
langsung aja deh ^^


Tittle                    : Serenity [Part 12]
Author                                : Ichaa Ichez
Genre                  : Friendship, Romance, Angst, Family.
Rating                 : PG-15
Cast                      : Shin Jihyun, Ong Seongwoo, Kang Daniel, Hwang Minhyun. Choi Yena
Length                : Chapter.
Desclaimer        : This story is originally mine. This is only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!


                “Perhatian… Perhatian… Sebentar lagi kereta menuju stasiun akhir Jeonju akan memasuki jalur 15, para penumpang yang sudah memiliki tiket diharapkan untuk segera…”
                Jihyun yang semula asik memainkan ponselnya melirik sekilas ke sebuah jam tangan berwarna silver yang melingkar di pergelangannya. Sesuai jadwal, pukul 10.15 tepat kereta yang akan ia tumpangi menuju Jeonju sudah hampir tiba. Langsung saja gadis itu bangkit dari tempat duduk kemudian mengambil sebuah tas berisikan beberapa buah tangan yang sengaja ia siapkan untuk keluarganya tercinta.
                Tapi belum juga jemari Jihyun melingkar di gagang tas dengan corak kebiruan itu, seseorang yang sejak tadi duduk di sebelah Jihyun lebih dulu meraihnya.
                “Biar aku saja.”
                Alis Jihyun terangkat, kemudian tersenyum. Padahal ia sudah cukup membuat Seongwoo kerepotan dengan dua tas lain berisi bajunya dan baju milik Seongwoo, namun namja itu lagi-lagi bersikeras untuk membawakan tas yang penuh dengan oleh-oleh.
                Terserah kau sajalah, batin Jihyun.
                Sejujurnya rencana untuk pergi bersama Seongwoo hari ini tidak pernah Jihyun perkirakan. Setelah ia mengungkapkan keinginannya kemarin, Seongwoo tidak langsung memberikan jawaban. Namja itu masih saja terdiam dan seolah menolak untuk membahas permintaan Jihyun dengan tidak menghubunginya sampai  petang. Tapi diluar dugaan, Seongwoo justru membawa dua lembar tiket menuju Jeonju tepat ketika namja itu pulang kerja.
                Seongwoo memang seperti itu. Tak ada satu pun hal dari dirinya yang bisa Jihyun tebak.
                “Baru dua bulan tinggal di Seoul kenapa rasanya lama sekali tidak pulang ya…” Jihyun bergumam sambil melihat keluar jendela, membiarkan pemandangan indah memenuhi bola matanya yang tampak berbinar.
                Yeoja itu terlihat sangat merindukan suasana rumah yang ia tinggalkan. Sebagai satu-satunya anak di keluarga Shin, Jihyun selalu mendapatkan perlakuan yang istimewa dari kedua orang tuanya. Meskipun ia selalu dididik untuk mandiri, namun tentu saja kehidupannya akan jauh berbeda ketika Jihyun harus hidup tanpa mereka di luar kota.
                “Seongwoo ya~” tampaknya Jihyun sudah mulai bosan.
                “Hm?”
                “Kenapa kau mau menemaniku ke Jeonju?”
                Kelopak mata yang semula tertutup itu bergerak perlahan. Seongwoo masih tidak merubah posisinya sampai Jihyun kembali bertanya.
                “Kupikir kau sudah tidak ingin mengingat masa lalumu.” Lanjutnya. “Apa kau merindukannya?”
                Seongwoo sedikit menunduk sebelum akhirnya menoleh ke arah Jihyun.  ‘Tentu saja aku merindukannya. Namun jika aku bisa memilih, maka aku akan lebih memilih untuk mengubur rasa rinduku ketimbang harus membuka rasa sakitku dimasa lalu.’ Batin Seongwoo tanpa menggerakkan bibirnya.
‘Tapi rasa sakit itu tidak akan berarti apapun dibandingkan penyesalan yang mungkin akan aku terima jika aku tidak pergi menemanimu kali ini, nuna. Aku tidak ingin mengulangi kesalahanku untuk yang kedua kalinya.’
                Alis Jihyun terangkat, menunggu-nunggu jawaban Seongwoo yang sejak tadi ia ungkapkan dalam hatinya. Yeoja itu sudah berusaha untuk menelusuri pikiran Seongwoo lewat tatapannya. Tapi tak ada satupun jawaban yang bisa ia temukan disana.
                “Sepertinya aku sedikit lupa dengan area perumahan di Jeonju.” Ucap Seongwoo akhirnya. “Apa sekarang sudah banyak berubah?”
***
                Sebuah pohon mapple berdahan rendah yang terletak tepat ditengah kebun menuju rumah Jihyun adalah hal yang pertama kali bisa Seongwoo kenali. Ia ingat waktu kecil dulu selalu menunggu kepulangan Jihyun dan Seonghee disana karena jam pulangnya yang lebih awal. Pohon itu terlihat jauh lebih rimbun dari kejauhan. Dibawahnya bahkan terlihat sebuah kursi persegi dengan beberapa orang yang duduk diatasnya. Tampaknya tempat  itu memang tempat yang sempurna untuk bersantai di sore hari seperti sekarang.
                Tidak jauh dari hamparan kebun yang baru saja Seongwoo lihat, mereka mulai masuk ke dalam gang-gang perumahan yang kini jauh lebih ramai. Padahal dulu di tempat ini hanya ada beberapa blok rumah dengan jarak yang cukup jauh, tapi sekarang bahkan sepanjang jalan utama sudah dipenuhi bangunan dengan tembok-tembok pembatas yang cukup tinggi.
                Seongwoo baru menyadari bahwa 10 tahun bukanlah waktu yang singkat sejak ia terakhir kali ke tempat ini.
                Tak lama kemudian, taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan tembok pagar susunan bata yang tertata dengan rapi. Seongwoo mengerutkan dahi karena rumah itu terlihat asing dimatanya.
                “Rumah ini sudah beberapa kali direnovasi.” Jawab Jihyun memahami ekspresi Seongwoo. “Lantai dua diatas adalah kamarku yang dibangun sejak aku duduk di bangku SMA.” Lanjut yeoja itu kemudian membantu supir taksi untuk mengeluarkan beberapa barang di bagasi.
                Seongwoo masih terdiam. Ia tampak begitu takjub dengan suasana kampung halaman yang jauh dari bayangannya itu. Sampai tatapannya tertumpu pada sebuah rumah yang berada tepat diseberang rumah Jihyun. Seongwoo mengingat bahwa itu adalah rumah miliknya. Dulu.
                Sebuah rumah dengan cat berwarna putih dan pintu masuk yang terbuat dari besi itu memiliki tampilan yang sungguh berbeda dengan rumah milik Jihyun. Tidak banyak perubahan yang terlihat disana. Bahkan nomer 258, yang menjadi identitas rumah tersebut masih sama persis seperti terakhir kali ia tinggalkan.
                Waktu kecil Seongwoo pernah jatuh dari sepeda karena menabrak tiang listrik yang berada tepat di sisi pintu pagar rumahnya. Mungkin bekas goresan yang ia tinggalkan sudah hilang, namun kejadian itu masih tersimpan  dengan rapi didalam hati Seongwoo.
                 “Semenjak kepergianmu, rumah ini ditempati oleh keluarga Mr. Kim. Beliau adalah seorang guru SMA yang sekarang sudah pensiun.” Jihyun bercerita. “Anak semata wayangnya sudah menikah dan tinggal di Seoul. Jadi kini Mr Kim hanya tinggal bersama dengan istrinya di rumah itu.”
                Seongwoo mengangguk-angguk. Membayangkan cerita Jihyun sambil mengedarkan pandangannya ke setiap celah rumah yang menyimpan sejuta kenangan itu.
                “Sudah hampir malam, ayo kita masuk!” ajak Jihyun sambil menenteng satu tas yang paling ringan, membiarkan Seongwoo membawa sisanya.
Setelah melewati pagar rumah dua lantai milik Jihyun, Seongwoo disuguhi dengan pemandangan sederhana sebuah taman kecil yang ada didalamnya. Ia tahu sekali sejak dulu Umma Jihyun adalah penyuka tanaman. Jadi tidak heran jika disana terlihat begitu banyak pot-pot bunga aneka warna yang tertata dengan rapi.
                “Umma! Na wasseo~”
                Jihyun melepas sepatunya sambil berteriak. Sepertinya umma yeoja itu tengah sibuk didapur sampai sampai tidak menyadari kedatangan Jihyun.               
Aigoo Jihyun-ah!”
                Kemudian terlihat sebuah drama klasik yang memperlihatkan pertemuan antara orang tua dengan anak semata wayangnya yang baru saja pulang dari luar kota.
                “Appa  eodisseo?”
                “Dia belum pulang.” Jawab Umma Jihyun kemudian menggerakkan kepalanya saat mengetahui ada seseorang yang berdiri dibelakang Jihyun. “Oh~ kau membawa teman rupanya?”
                Seongwoo masih mematung ditempat dengan kedua kaki dan tangan yang ia rapatkan. Namja itu bahkan tidak sanggup memberikan sapaan meski Umma Jihyun menyapanya lebih dulu.
                “Nuguseyo?” tanya Umma Jihyun lagi. Ia merasa senang jika ternyata Jihyun membawa teman yang mungkin selama ini menemani putrinya di Seoul.
                Tapi yang ditanya masih terdiam. Bahkan bibir tipisnya sama sekali tidak bergerak sejak namja itu masuk ke rumah ini.
                Entah kenapa Seongwoo merasa sedikit janggal. Ada sesuatu yang menyeruak dalam hatinya–yang tidak sanggup ia gambarkan. Melihat Umma Jihyun yang setiap pagi selalu menyapanya, memberikan sarapan untuknya, dan bahkan menganggap ia seperti anak semata wayangnya sendiri membuat Seongwoo kehilangan kata-kata.
                Seongwoo masih ingat bagaimana Umma Jihyun selalu menggulung rambut pendeknya dengar roll dan menyematkan sebuah celemek didepan dadanya. Kini bahkan roll rambut dan celemek yang berenda itu masih terlihat disana. Senyumnya pun sama sekali tidak berubah. Hanya saja Seongwoo bisa menemukan ada guratan-guratan tipis yang menghiasi sudut matanya.
                “Dia…” Jihyun tampak ragu. Karena bagaimanapun juga selama ini ia tidak pernah menceritakan apapun tentang Seongwoo pada ummanya. Bukannya Jihyun bermaksud untuk menyembunyikan keberadaan namja itu, hanya saja ia pikir momentnya belum tepat.
Tapi sekarang…
 “Dia adalah…”
                “Apa mungkin kau…” pertanyaan itu terhenti sejenak. “…uri Seongwoo?”
               Terlambat. Rupanya Umma Jihyun mengenali sosok Seongwoo lebih dulu. Meskipun kini ‘anak terakhirnya’ telah tumbuh jauh dari yang terakhir ia lihat, namun tatapan dengan sorot kepiluan itu tidak mungkin beliau lupakan.
Seongwoo mengatupkan bibirnya lebih rapat. Kepalanya bergerak perlahan menjawab pertanyaan itu.
“Aigoo Seongwoo ya~” Umma Jihyun langsung menghambur ke arah Seongwoo, memeluknya erat. Seakan-akan ia tidak lagi mengijinkan Seongwoo untuk menghilang seperti sepuluh tahun yang lalu. Kebahagiaan yang ia rasakan seketika membuncah bagai letupan yang setiap butirnya memiliki cerita tersendiri.
Dimata Umma Jihyun, Seongwoo adalah anak yang malang. Di usianya yang masih muda harus melewati kehidupan yang sangat menyakitkan. Laki-laki kecil itu tidak hanya harus menahan rasa sakit akan kehilangan saudara perempuannya, tapi juga mencicipi pahitnya hidup ketika keluarga mereka benar-benar jatuh ke level terendah.
Melihat namja itu kini bisa tumbuh dengan baik membuat Umma Jihyun sangat bersyukur atas apa yang ia lihat. Umma Jihyun tidak percaya bahwa namja dengan tinggi badan yang jauh darinya itu adalah lelaki kecil yang dulu begitu ia sayang.
“Gomawo…” Ucap Umma Jihyun terharu. “Gomawo karena sudah bertahan Seongwoo-ya.”
Seongwoo hanya menunduk. Kedua matanya basah. Ia tidak menangis, belum. Meskipun demikian, sebenarnya namja itu mati-matian menahan perasaan yang tengah berkecamuk dalam dadanya.
“Gwenchana-gwenchana. Kamu sudah melakukannya dengan baik.” Lanjut Umma Jihyun mengusap kepala Seongwoo. “Mulai sekarang, ommoni akan selalu ada untukmu. Jangan khawatir Seongwoo ya~”
Dan tepat setelah itu, sebuah cairan bening di pelupuk mata Seongwoo benar-benar jatuh.   
-To Be Continue-


 Haaaaa
ini kenapa mendadak jadi mellow U.U
jangan lupa tunggu part 13 . cmiw

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...