Annyeonghaseyo~~
Maap ya rada telaat publishnya, lanjut ke part 12 hehehe
langsung aja deh ^^
Tittle : Serenity [Part 12]
Author : Ichaa Ichez
Genre : Friendship, Romance, Angst, Family.
Rating : PG-15
Cast :
Shin Jihyun, Ong Seongwoo,
Kang Daniel, Hwang Minhyun. Choi Yena
Length : Chapter.
Desclaimer : This story is originally mine. This is
only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!
“Perhatian…
Perhatian… Sebentar lagi kereta menuju stasiun akhir Jeonju akan memasuki jalur
15, para penumpang yang sudah memiliki tiket diharapkan untuk segera…”
Jihyun
yang semula asik memainkan ponselnya melirik sekilas ke sebuah jam tangan
berwarna silver yang melingkar di pergelangannya. Sesuai jadwal, pukul 10.15
tepat kereta yang akan ia tumpangi menuju Jeonju sudah hampir tiba. Langsung
saja gadis itu bangkit dari tempat duduk kemudian mengambil sebuah tas
berisikan beberapa buah tangan yang sengaja ia siapkan untuk keluarganya
tercinta.
Tapi
belum juga jemari Jihyun melingkar di gagang tas dengan corak kebiruan itu,
seseorang yang sejak tadi duduk di sebelah Jihyun lebih dulu meraihnya.
“Biar
aku saja.”
Alis
Jihyun terangkat, kemudian tersenyum. Padahal ia sudah cukup membuat Seongwoo kerepotan
dengan dua tas lain berisi bajunya dan baju milik Seongwoo, namun namja itu
lagi-lagi bersikeras untuk membawakan tas yang penuh dengan oleh-oleh.
Terserah
kau sajalah, batin Jihyun.
Sejujurnya
rencana untuk pergi bersama Seongwoo hari ini tidak pernah Jihyun perkirakan.
Setelah ia mengungkapkan keinginannya kemarin, Seongwoo tidak langsung
memberikan jawaban. Namja itu masih saja terdiam dan seolah menolak untuk
membahas permintaan Jihyun dengan tidak menghubunginya sampai petang. Tapi diluar dugaan, Seongwoo justru
membawa dua lembar tiket menuju Jeonju tepat ketika namja itu pulang kerja.
Seongwoo
memang seperti itu. Tak ada satu pun hal dari dirinya yang bisa Jihyun tebak.
“Baru
dua bulan tinggal di Seoul kenapa rasanya lama sekali tidak pulang ya…” Jihyun
bergumam sambil melihat keluar jendela, membiarkan pemandangan indah memenuhi bola
matanya yang tampak berbinar.
Yeoja
itu terlihat sangat merindukan suasana rumah yang ia tinggalkan. Sebagai
satu-satunya anak di keluarga Shin, Jihyun selalu mendapatkan perlakuan yang
istimewa dari kedua orang tuanya. Meskipun ia selalu dididik untuk mandiri,
namun tentu saja kehidupannya akan jauh berbeda ketika Jihyun harus hidup tanpa
mereka di luar kota.
“Seongwoo
ya~” tampaknya Jihyun sudah mulai bosan.
“Hm?”
“Kenapa
kau mau menemaniku ke Jeonju?”
Kelopak
mata yang semula tertutup itu bergerak perlahan. Seongwoo masih tidak merubah
posisinya sampai Jihyun kembali bertanya.
“Kupikir
kau sudah tidak ingin mengingat masa lalumu.” Lanjutnya. “Apa kau
merindukannya?”
Seongwoo
sedikit menunduk sebelum akhirnya menoleh ke arah Jihyun. ‘Tentu saja aku merindukannya. Namun jika aku
bisa memilih, maka aku akan lebih memilih untuk mengubur rasa rinduku ketimbang
harus membuka rasa sakitku dimasa lalu.’ Batin Seongwoo tanpa menggerakkan
bibirnya.
‘Tapi rasa sakit itu tidak akan berarti apapun
dibandingkan penyesalan yang mungkin akan aku terima jika aku tidak pergi
menemanimu kali ini, nuna. Aku tidak
ingin mengulangi kesalahanku untuk yang kedua kalinya.’
Alis
Jihyun terangkat, menunggu-nunggu jawaban Seongwoo yang sejak tadi ia ungkapkan
dalam hatinya. Yeoja itu sudah berusaha untuk menelusuri pikiran Seongwoo lewat
tatapannya. Tapi tak ada satupun jawaban yang bisa ia temukan disana.
“Sepertinya
aku sedikit lupa dengan area perumahan di Jeonju.” Ucap Seongwoo akhirnya. “Apa
sekarang sudah banyak berubah?”
***
Sebuah
pohon mapple berdahan rendah yang terletak tepat ditengah kebun menuju rumah
Jihyun adalah hal yang pertama kali bisa Seongwoo kenali. Ia ingat waktu kecil
dulu selalu menunggu kepulangan Jihyun dan Seonghee disana karena jam pulangnya
yang lebih awal. Pohon itu terlihat jauh lebih rimbun dari kejauhan. Dibawahnya
bahkan terlihat sebuah kursi persegi dengan beberapa orang yang duduk
diatasnya. Tampaknya tempat itu memang tempat
yang sempurna untuk bersantai di sore hari seperti sekarang.
Tidak
jauh dari hamparan kebun yang baru saja Seongwoo lihat, mereka mulai masuk ke
dalam gang-gang perumahan yang kini jauh lebih ramai. Padahal dulu di tempat
ini hanya ada beberapa blok rumah dengan jarak yang cukup jauh, tapi sekarang
bahkan sepanjang jalan utama sudah dipenuhi bangunan dengan tembok-tembok
pembatas yang cukup tinggi.
Seongwoo
baru menyadari bahwa 10 tahun bukanlah waktu yang singkat sejak ia terakhir
kali ke tempat ini.
Tak
lama kemudian, taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah dua
lantai dengan tembok pagar susunan bata yang tertata dengan rapi. Seongwoo
mengerutkan dahi karena rumah itu terlihat asing dimatanya.
“Rumah
ini sudah beberapa kali direnovasi.” Jawab Jihyun memahami ekspresi Seongwoo.
“Lantai dua diatas adalah kamarku yang dibangun sejak aku duduk di bangku SMA.”
Lanjut yeoja itu kemudian membantu supir taksi untuk mengeluarkan beberapa
barang di bagasi.
Seongwoo
masih terdiam. Ia tampak begitu takjub dengan suasana kampung halaman yang jauh
dari bayangannya itu. Sampai tatapannya tertumpu pada sebuah rumah yang berada
tepat diseberang rumah Jihyun. Seongwoo mengingat bahwa itu adalah rumah
miliknya. Dulu.
Sebuah
rumah dengan cat berwarna putih dan pintu masuk yang terbuat dari besi itu
memiliki tampilan yang sungguh berbeda dengan rumah milik Jihyun. Tidak banyak
perubahan yang terlihat disana. Bahkan nomer 258, yang menjadi identitas rumah tersebut
masih sama persis seperti terakhir kali ia tinggalkan.
Waktu
kecil Seongwoo pernah jatuh dari sepeda karena menabrak tiang listrik yang
berada tepat di sisi pintu pagar rumahnya. Mungkin bekas goresan yang ia
tinggalkan sudah hilang, namun kejadian itu masih tersimpan dengan rapi didalam hati Seongwoo.
“Semenjak kepergianmu, rumah ini ditempati oleh
keluarga Mr. Kim. Beliau adalah seorang guru SMA yang sekarang sudah pensiun.”
Jihyun bercerita. “Anak semata wayangnya sudah menikah dan tinggal di Seoul.
Jadi kini Mr Kim hanya tinggal bersama dengan istrinya di rumah itu.”
Seongwoo
mengangguk-angguk. Membayangkan cerita Jihyun sambil mengedarkan pandangannya
ke setiap celah rumah yang menyimpan sejuta kenangan itu.
“Sudah
hampir malam, ayo kita masuk!” ajak Jihyun sambil menenteng satu tas yang
paling ringan, membiarkan Seongwoo membawa sisanya.
Setelah melewati pagar rumah dua lantai milik Jihyun,
Seongwoo disuguhi dengan pemandangan sederhana sebuah taman kecil yang ada
didalamnya. Ia tahu sekali sejak dulu Umma Jihyun adalah penyuka tanaman. Jadi
tidak heran jika disana terlihat begitu banyak pot-pot bunga aneka warna yang
tertata dengan rapi.
“Umma! Na wasseo~”
Jihyun
melepas sepatunya sambil berteriak. Sepertinya umma yeoja itu tengah sibuk
didapur sampai sampai tidak menyadari kedatangan Jihyun.
“Aigoo
Jihyun-ah!”
Kemudian
terlihat sebuah drama klasik yang memperlihatkan pertemuan antara orang tua
dengan anak semata wayangnya yang baru saja pulang dari luar kota.
“Appa eodisseo?”
“Dia
belum pulang.” Jawab Umma Jihyun kemudian menggerakkan kepalanya saat
mengetahui ada seseorang yang berdiri dibelakang Jihyun. “Oh~ kau membawa teman
rupanya?”
Seongwoo
masih mematung ditempat dengan kedua kaki dan tangan yang ia rapatkan. Namja
itu bahkan tidak sanggup memberikan sapaan meski Umma Jihyun menyapanya lebih
dulu.
“Nuguseyo?” tanya Umma Jihyun lagi. Ia
merasa senang jika ternyata Jihyun membawa teman yang mungkin selama ini
menemani putrinya di Seoul.
Tapi
yang ditanya masih terdiam. Bahkan bibir tipisnya sama sekali tidak bergerak
sejak namja itu masuk ke rumah ini.
Entah
kenapa Seongwoo merasa sedikit janggal. Ada sesuatu yang menyeruak dalam
hatinya–yang tidak sanggup ia gambarkan. Melihat Umma Jihyun yang setiap pagi
selalu menyapanya, memberikan sarapan untuknya, dan bahkan menganggap ia
seperti anak semata wayangnya sendiri membuat Seongwoo kehilangan kata-kata.
Seongwoo
masih ingat bagaimana Umma Jihyun selalu menggulung rambut pendeknya dengar
roll dan menyematkan sebuah celemek didepan dadanya. Kini bahkan roll rambut
dan celemek yang berenda itu masih terlihat disana. Senyumnya pun sama sekali
tidak berubah. Hanya saja Seongwoo bisa menemukan ada guratan-guratan tipis
yang menghiasi sudut matanya.
“Dia…”
Jihyun tampak ragu. Karena bagaimanapun juga selama ini ia tidak pernah
menceritakan apapun tentang Seongwoo pada ummanya. Bukannya Jihyun bermaksud
untuk menyembunyikan keberadaan namja itu, hanya saja ia pikir momentnya belum
tepat.
Tapi sekarang…
“Dia adalah…”
“Apa
mungkin kau…” pertanyaan itu terhenti sejenak. “…uri Seongwoo?”
Terlambat.
Rupanya Umma Jihyun mengenali sosok Seongwoo lebih dulu. Meskipun kini ‘anak
terakhirnya’ telah tumbuh jauh dari yang terakhir ia lihat, namun tatapan
dengan sorot kepiluan itu tidak mungkin beliau lupakan.
Seongwoo mengatupkan bibirnya lebih rapat. Kepalanya
bergerak perlahan menjawab pertanyaan itu.
“Aigoo Seongwoo ya~” Umma Jihyun langsung menghambur ke
arah Seongwoo, memeluknya erat. Seakan-akan ia tidak lagi mengijinkan Seongwoo untuk
menghilang seperti sepuluh tahun yang lalu. Kebahagiaan yang ia rasakan
seketika membuncah bagai letupan yang setiap butirnya memiliki cerita
tersendiri.
Dimata Umma Jihyun, Seongwoo adalah anak yang malang.
Di usianya yang masih muda harus melewati kehidupan yang sangat menyakitkan.
Laki-laki kecil itu tidak hanya harus menahan rasa sakit akan kehilangan
saudara perempuannya, tapi juga mencicipi pahitnya hidup ketika keluarga mereka
benar-benar jatuh ke level terendah.
Melihat namja itu kini bisa tumbuh dengan baik membuat
Umma Jihyun sangat bersyukur atas apa yang ia lihat. Umma Jihyun tidak percaya
bahwa namja dengan tinggi badan yang jauh darinya itu adalah lelaki kecil yang
dulu begitu ia sayang.
“Gomawo…” Ucap Umma Jihyun terharu. “Gomawo karena
sudah bertahan Seongwoo-ya.”
Seongwoo hanya menunduk. Kedua matanya basah. Ia tidak
menangis, belum. Meskipun demikian, sebenarnya namja itu mati-matian menahan
perasaan yang tengah berkecamuk dalam dadanya.
“Gwenchana-gwenchana. Kamu sudah melakukannya dengan
baik.” Lanjut Umma Jihyun mengusap kepala Seongwoo. “Mulai sekarang, ommoni
akan selalu ada untukmu. Jangan khawatir Seongwoo ya~”
Dan tepat setelah itu, sebuah cairan bening di pelupuk
mata Seongwoo benar-benar jatuh.
-To
Be Continue-
Haaaaa
ini kenapa mendadak jadi mellow U.U
jangan lupa tunggu part 13 . cmiw
No comments:
Post a Comment