Annyeonghaseyo wannabul!
Maaf telat satu hari, karena kemarin kebetulan full jadi ngga keposting hehehe
Tapi tenang~ part ini lumayan rada panjang. Nyeritain gimana nasibnya Jihyun pas bencana alam wkwkwk
Langsung aja ya~~
Tittle : Serenity [Part 10]
Author : Ichaa Ichez
Genre : Friendship, Romance, Angst, Family.
Rating : PG-15
Cast :
Shin Jihyun, Ong Seongwoo,
Kang Daniel, Hwang Minhyun. Choi Yena
Length : Chapter.
Desclaimer : This story is originally mine. This is
only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!
“Terimakasih, silakan datang kembali.” Seongwoo
menyapa pembeli dengan ramah. Ia lantas membetulkan topinya yang berwarna
coklat sambil kembali mengecek pesanan.
Siang
itu café tempat Seongwoo bekerja tampak ramai seperti biasanya. Sebagian besar
adalah mahasiswa Konkuk yang memiliki universitas paling dekat dari sana.
Mereka biasanya akan mampir ke café untuk singgah sejenak atau justru membawa
pesanan keluar.
Setelah
memastikan tidak ada lagi yang mengantri, Seongwoo lantas berjalan ke dapur
untuk mengambil stok kue yang ada di kulkas. Namun tiba-tiba langkahnya
terhenti tepat didepan pintu pemisah antara dua ruangan.
Seongwoo
melihat ke arah TV sekilas, sepertinya ada sebuah berita menyita perhatiannya.
‘Bukankah
itu taman Naejangsan?’ batin Seongwoo langsung menyambar remote TV untuk
menaikkan volumenya.
“…Pagi
tadi telah terjadi bencana longsor di gunung Naejangsan. Beberapa area mendaki,
termasuk taman Naejangsan terkena timbunan tanah yang jatuh dari gunung. Para
warga yang tinggal di area Naejangsan akan segera di evakuasi…”
DEG!
Jantung
Seongwoo tiba-tiba berdentum begitu cepat. Matanya menatap nanar layar LCD yang
menampakkan suasana bencana yang terlihat mengerikan. Seongwoo tidak percaya
bahwa di tempat itulah Jihyun berada.
Itu… tidak mungkin… kan?
Dengan gerakan cepat Seongwoo langsung menyambar
hoodie dan tas yang ia gantungkan dibelakang pintu. Namja itu lantas pergi
terburu-buru tanpa mempedulikan teriakan rekan kerjanya yang tampak terkejut
melihat ia tiba-tiba menghilang tanpa mengatakan apapun.
Kini yang ada didalam kepala Seongwoo hanyalah Jihyun.
Ia tidak bisa mempercayai bahwa pagi tadi ia masih bisa melihat wajah cemberut
yeoja itu tepat sebelum berpamitan untuk pergi ke Taman Naejangsan. Jihyun yang
beberapa hari ini selalu mengeluh karena harus pergi kesana, rupanya memiliki
firasat buruk tentang hal yang akan terjadi.
Dan ketika setiap kali yeoja itu mengatakan bahwa ia
enggan pergi, Seongwoo selalu membujuk dan menyemangatinya. Selalu. Kenapa
Seongwoo begitu bodoh dan melepaskan Jihyun begitu saja sementara sebuah musibah
tengah menunggunya disana?
Betapa Seongwoo tidak bisa membendung besarnya
penyesalan yang ia rasakan sekarang.
Setelah mendapatkan bus menuju stasiun kota Seoul,
Seongwoo langsung memesan tiket menuju provinsi Jeolla Utara. Dari sana,
Seongwoo pun masih harus menempuh perjalanan menggunakan bus setempat untuk
mencapai kota Jeongup dimana Taman Naejangsan berada.
Pikiran namja itu kalang kabut. Ia sudah mencoba
menghubungi Jihyun berkali-kali namun handphone milik yeoja itu tidak aktif.
Semakin Seongwoo mencari tahu keadaan yang terjadi melalui berita di internet,
semakin hatinya tidak tenang. Seongwoo tidak berani menebak bagaimana keadaan
Jihyun sekarang, ia takut kalau kenyataan yang terjadi tak sama seperti apa
yang ia harapkan.
Tidak… tidak mungkin kalau Jihyun celaka. Yeoja itu pasti
akan baik-baik saja kan?
Meskipun sekarang keadaan taman Naejangsan sangat
kacau, pasti Jihyun mampu menyelamatkan dirinya. Iya… pasti ada cara untuk
menyelamatkan diri dari musibah itu. Jihyun pasti selamat. Dia pasti sedang
berada disuatu tempat untuk menunggu bantuan.
Iya…kan?
Kaki Seongwoo bergetar tatkala hatinya semakin cemas
dan tidak sabar untuk menemukan jawabannya. Meskipun sudah berulangkali ia
meyakinkan dirinya untuk tenang, usaha itu tetap saja gagal. Seongwoo tidak
bisa menyembunyikan perasaan takut yang pernah ia alami 10 tahun yang lalu.
Seonghee nuna. Kenangan menyakitkan yang pernah
Seongwoo alami ketika kehilangan orang yang paling ia sayangi benar-benar
menyiksa. Tidak mungkin jika Seongwoo harus menghadapinya sekali lagi. Tidak…
Seongwoo tidak akan membiarkan Jihyun pergi meninggalkannya.
Secepatnya ia harus memastikan itu.
“Maaf tapi karena sedang ada bencana alam, akses
menuju taman Naejangsan ditutup.”
Kalimat itu langsung membuat lutut Seongwoo lemas. Ia
berdiri di pos bencana alam area pegunungan Naejangsan dengan pikiran kalut.
Ketakutannya terasa lebih nyata sekarang. Jauh lebih mengerikan.
“Apakah ada cara lain untuk pergi kesana?” Seongwoo
bertanya lagi, barangkali ia bisa menemukan jalan untuk kesana meskipun harus
mendaki sekalipun.
Petugas dengan rompi oranye itupun menggeleng. “Saat
ini beberapa titik jalan menuju pegunungan Naejangsan tertutup oleh longsor,
bahkan jalan untuk mengevakuasi korban pun tidak ada. Jika anda memiliki
seseorang yang mungkin menjadi korban, anda bisa menuliskannya disini. Kami
akan berusaha secepat mungkin untuk menemukannya.”
Seongwoo mengamati tabel dengan deretan nama itu.
Sebagian sudah ditulis oleh beberapa orang sebelum Seongwoo yang juga tengah
mencari keberadaan rekan yang kemungkinan menjadi korban. Mereka semua
berbondong-bondong menghampiri pos bencana alam terdekat area Naejangsan itu dengan
harapan yang sama sepertinya. Ekspresi wajah yang sama, kekhawatiran yang sama,
katakutan yang sama.
Hanya sekitar 2 kilometer jarak yang diperlukan untuk
mencapai tempat evakuasi para korban. Lokasi itupun sama-sama berada di kaki
gunung seperti tempat Seongwoo sekarang. Tapi kenapa begitu sulit untuk pergi
kesana? Seongwoo hanya ingin memastikan bahwa Jihyun baik-baik saja. Ia sangat
ingin mengetahuinya. Namun Seongwoo merasa kini ia tidak berguna.
Namja itu duduk di bawah pohon, berjongkok. Menunggu
dengan pikiran yang kacau. Ia tidak menyadari bahwa ia tak merubah posisinya
sama sekali hingga malam mulai larut dan padatnya lalu lalang orang-orang yang
ada di pos itu lama kelamaan semakin pudar.
Sampai Seongwoo mendengar suara sebuah mobil dengan
sirine cukup keras berjalan mendekat. Mobil tim evakuasi berwarna oranye cerah
itu mulai mendekati gerbang pemisah yang sebelumnya telah ditutup. Dengan cepat
Seongwoo bangkit, ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
Malam yang mencekam. Hutan gelap dengan jalan yang
masih dipenuhi alang-alang tanpa jalur. Seongwoo memandang ke sekelilingnya
sambil berpegangan erat di salah satu pinggiran truk. Badannya bergoyang tidak
menentu, bahkan terkadang hampir jatuh karena jalanan miring dan penuh jurang.
Gwenchanha. Setidaknya setelah ini ia bisa bertemu
dengan seseorang yang ia pikirkan sejak tadi.
Dari kejauhan terlihat sebuah desa kecil yang beberapa
areanya hampir saja terkena longsor. Atap-atapnya tampak jelas terkena pantulan
sinar bulan meski tak ada satupun penerangan disana. Perlahan lahan truk yang
ditumpangi Seongwoo pun berjalan mendekati satu area dengan gedung sederhana
dan lapangan cukup luas yang ada didepannya.
Seongwoo tercekat ketika mendapati tempat itu penuh
dengan korban yang meringkuk menunggu bantuan. Bahkan ada beberapa yang terluka.
Sebuah api unggun menyala-nyala ditengah. Memampangkan kesedihan para korban
yang mendalam.
Seongwoo menghentikan langkahnya didepan gerbang
gedung yang merupakan balai desa Naejangsan. Pandangannya berputar disana,
mencari-cari seseorang yang mungkin ada diantara mereka. Semakin ia
mengamatinya satu persatu, ketakutan yang ia rasakan semakin jelas terasa.
‘Jihyun nuna… dimana kau?’ ucap Seongwoo dalam hati,
mencoba menenangkan pikirannya.
Sudah sejauh ini Seongwoo berjuang untuk mencari
Jihyun. Ia tidak mungkin menyerah. Seongwoo harus bisa menemukan Jihyun di
tempat ini, atau ia harus menerima kenyataan bahwa ia bisa saja kehilangan
yeoja itu selamanya.
‘Jihyun nuna muncullah… jebal…’ Seongwoo berteriak dalam
hati kali ini. Menyerukan harapannya.
Seongwoo benar-benar tidak sanggup menahan rasa kalut
yang menyerang hatinya. Segala memory yang dulu pernah ingin ia lenyapkan kini
justru tiba-tiba muncul disana. Waktu-waktu disaat Jihyun bermain bersamanya,
menghabiskan masa kecilnya di Jeonju, hingga kini selalu menjaganya ketika
mereka kembali bertemu 10 tahun kemudian.
Tidak ada yang lebih berharga daripada itu. Tidak ada
yang lebih berharga ketimbang Jihyun dalam hidup Seongwoo. Dengan bodohnya
Seongwoo baru menyadari bahwa ia sudah tidak memiliki siapapun didunia ini
selain seorang yeoja yang senantiasa ada untuknya.
Dan sekarang yeoja itu sudah tidak ada. Orang yang
Seongwoo cari tak ada disana. Jihyun tak ada disana.
Seongwoo kembali keluar dengan perasaan kosong.
Hatinya sudah benar-benar hancur sekarang. Tak ada hal lain yang bisa ia
lakukan selain menunggu kabar bahwa nama yang tadi ia daftarkan merupakan salah
satu korban yang selamat. Hanya itu yang bisa ia harapkan.
“Seongwoo…?”
Sebuah suara terdengar dari arah belakang. Sangat
pelan namun berdentum begitu keras di hati Seongwoo. Matanya membelalak, ia
membalik badannya dengan cepat.
Dan benar, ia adalah yeoja itu. Yeoja yang masih
menggunakan baju sama persis seperti yang ia temui pagi ini. Atasan kemeja berlapis
syal tipis berwarna biru cerah, dan sebuah jeans hitam lengkap dengan sepatu
sneakers berwarna senada. Rambut yeoja itu diikat kebelakang, sedikit
berantakan. Wajahnya pun dihiasi beberapa noda kecoklatan yang tampak seperti
butiran-butiran tanah. Namun sorot matanya masih sangat jelas.
Saat itu juga Seongwoo menghambur memeluk Jihyun.
Kekhawatiran yang sejak tadi ia simpan seketika tumpah ruah. Mengetahui bahwa
ia menemukan Jihyun dalam keadaan baik-baik saja membuat namja itu tidak bisa
berkata-kata. Hanya nafas beratnya yang mampu menggambarkan betapa leganya ia
bisa kembali bertemu dengan yeoja itu.
“Nuna…
gwenchana…?” Seongwoo menahan tangisnya kuat-kuat. Ia mengamati Jihyun dari
atas sampai bawah untuk memastikan tak ada satupun luka disana.
Jihyun mengangguk cepat kemudian memeluk Seongwoo
lagi. Kebahagiaan yang tiba-tiba hadir didepannya seketika membuncah. Ingin
rasanya ia mengeluh begitu banyak pada namja yang ada didepannya ini sambil
menangis sekeras-kerasnya. Mengatakan bahwa ia tengah ketakutan. Bahwa tidak
ada yang sanggup ia lakukan selain menggantungkan harapan kecilnya untuk bisa
kembali bertemu dengan orang-orang yang ia sayang.
Tapi yang Jihyun butuhkan kini hanyalah satu pelukan.
Pelukan hangat dari Seongwoo yang bisa dengan cepat melenyapkan segala
kekhawatiran yang melanda hatinya.
“Ini minumlah…” Tawar seseorang sambil ikut duduk
bersama Seongwoo di pinggiran gedung. “Kau pasti sudah melewati banyak hal
untuk sampai ke tempat ini.”
Namja dengan kemeja putih yang masih tampak rapi
meskipun sedikit kotor itu sebelumnya sudah memperkenalkan diri sebagai senior
Jihyun. Ia tersenyum melihat Seongwoo yang masih menggunakan seragam kerja part
timenya sampai ke tempat ini. Hoodie yang sebelumnya namja itu pakai sudah ia
berikan pada Jihyun karena cuaca disana cukup dingin.
“Gamsahamnida.” Jawab Seongwoo menerima kopi hangat
itu dengan kedua tangannya.
“Jihyun banyak bercerita tentangmu.” Tiba-tiba saja
Minhyun membuka pembicaraan, membuat Seongwoo menyesap kopinya sekilas untuk
mendengarkan lanjutan kalimat itu.
“…Dia bilang dia senang bisa bertemu denganmu di Seoul.
Padahal aku ingat sekali, hari pertamanya masuk kerja tampak begitu gugup dan
sangat canggung. Tapi saat dia bercerita tentangmu, dia akan tampak sangat
bahagia.”
Seongwoo mengalihkan pandangannya dari Minhyun ke
secangkir kopi dalam genggamannya. Tersenyum tipis.
“Ada hari dimana Jihyun terlihat sangat kacau, tapi
kemudian ia mengatakan bahwa sepulang kerja akan mampir ke tempat kau bekerja.”
Lanjut Minhyun. “Saat itu juga pasti ekspresinya langsung berubah.”
Benarkah? Apakah sebegitu berharganya Seongwoo di mata
Jihyun?
“Melihatmu sampai datang ke tempat ini tampaknya tidak
ada yang perlu aku khawatirkan.” Minhyun menepuk pundak Seongwoo. “Tolong jaga
dia baik-baik. Karena sepertinya kejadian hari ini cukup membuatnya shock.”
Seongwoo mengangguk kemudian mengikuti langkah Minhyun
yang berjalan menjauh. Tatapannya beralih ke seorang yeoja yang baru saja
berpapasan dan berbincang sejenak dengan Minhyun. Seorang yeoja yang kemudian
tersenyum saat menyadari Seongwoo mengamatinya sejak tadi.
Seorang yeoja yang sangat ingin Seongwoo peluk sekali
lagi.
***
“Nunaaa~!” Daniel langsung menghampiri Jihyun ketika
yeoja itu muncul di ujung koridor. “Nuna gwenchanha?” tanyanya dengan nada
khawatir.
“Hm,
gwenchanha.” Jihyun tersenyum melihat ekspresi Daniel. Namja itu sampai
menghentikan aktivitas hariannya hanya untuk menunggu kedatangan Jihyun di
apartemen. Terbukti ia masih memakai kaus longgar tanpa lengan dengan celana
pendek kesayangannya. Padahal Jihyun tahu benar, Daniel tidak pernah
‘bersantai’ didalam apartemen pada pukul 7 malam seperti sekarang.
Tepat
setelah Seongwoo berhasil menemukan Jihyun, perlahan-lahan proses evakuasi
mulai bisa dilakukan. Satu persatu korban dibawa ke tempat yang aman. Termasuk
Jihyun.
Sebelum
sampai di tempat ini Jihyun lebih dulu dibawa ke rumah sakit setempat untuk
pemeriksaan kesehatan. Setelah itupun ia masih harus melakukan perjalanan untuk
kembali ke Seoul. Karena itulah hampir 2x24 jam kemudian Jihyun baru bisa
menginjakkan kakinya di apartemen.
“Kalian
sedang berpesta disini kenapa tidak mengundangku?”
Seongwoo
dan Daniel yang semula tengah menikmati chicken dan beer di atas rooftop
terkejut dengan kehadiran Jihyun. Padahal sebelumnya mereka berdua sudah
memastikan bahwa Jihyun tengah beristirahat di dalam apartemennya.
“Nuna
tidak tidur?” Tanya Daniel langsung berdiri untuk mempersilakan Jihyun duduk di
bangku 2x2 meter itu.
Jihyun
hanya meringis.
Seongwoo
tidak merespon. Tatapannya diam-diam mengikuti gerakan Jihyun untuk memastikan bahwa yeoja itu
baik-baik saja.
“Aku
tidak pa-pa… Ayo kita habiskan!” Jihyun menyambar segelas beer dan meminumnya,
seolah tidak terjadi apapun. “Bersulaang~~!”
Ketiga
gelas itu berbenturan pelan, diikuti dengan luapan buih pada beer yang perlahan
sirna. Baik Daniel, Jihyun dan Seongwoo saling bertukar tatapan. Tersenyum
bersamaan. Meskipun sekarang mungkin saja mereka akan mabuk dan melupakan
segalanya. Namun sesungguhnya merekapun tidak yakin apakah pengalaman buruk
yang baru saja terjadi akan benar-benar hilang.
Saat
itu pula tiba-tiba muncul orang keempat disana. Menggunakan sebuah dress
sederhana berlapis cardigan tipis motif bunga, sosok itu berhenti tepat di
samping tali-tali yang berjejeran diatas rooftop. Wajahnya tidak terlihat,
menunduk. Rambut panjangnya tampak bergerak tidak beraturan karena tiupan angin.
Meskipun demikian, siluet mungilnya terlalu familiar untuk dilupakan.
Daniel
langsung meletakkan gelasnya dengan kasar ketika tatapannya menangkap sosok
yang tengah menangis itu.
“Yena?!?”
-To
Be Continue-
No comments:
Post a Comment