Tuesday, 22 July 2025

[Fiction Story] Turning


Wow after a long time ternyata aku nulis cerita lagi guys!

Ini comebackku setelah terakhir kali aku nulis Retrogade. Waktu itu masih Fanfict karena emang tokoh utamanya aku ambil dr penyanyi Kpop. Tapi kali ini semuanya tokoh fiksi. Jadi aku kasih judul fiction story.

So... happy reading guys!!

Turning


 
Tokoh Utama: Jisoo (bukan Jisoo Blackpink, cuman kebetulan sama aja namanya wkwk)

Tokoh Pria: Sangjun
Latar: Korea Selatan (Busan–Seoul)
Gaya penceritaan: Sudut pandang orang pertama (Jisoo)
Tone: Melankolis, kontemplatif, reflektif

 

Sinar matahari menyusup lembut lewat kaca jendela bus berwarna biru, menyapu wajahku yang larut dalam lamunan. Mataku menyusuri barisan gedung-gedung yang akrab, satu per satu, seperti menyapa kembali potongan kenangan di kota masa kecilku: Busan.

 

Sejak tadi malam tiba dari Seoul, aku tidak sabar untuk bertemu dengan seseorang yang sangat aku rindukan. Terhitung hampir satu tahun aku tak bertemu dengannya.

 

Orang itu adalah orang yang selalu ingin aku ucapkan terima kasih sekaligus maaf karena semua perlakuan ‘jahat’ku padanya. Meskipun demikian hanya dengan kalimat "Nanti sore bisakah aku pergi ke apartemenmu?", sesuai dugaanku dia menjawab dengan "Tentu saja".

 

Dia Sangjun. Aku pertama kali mengenalnya saat duduk di bangku kelas 3 SMA.  Sebagai murid pindahan, bisa dibilang nama Sangjun terkenal dalam waktu yang singkat. Kata teman-temanku, itu karena ia sering sekali terlibat perkelahian di sekolah.

 

Aku tidak mempercayai rumor itu sampai di saat kami berdua duduk bersebelahan ketika ujian tengah semester. Aku menemukan beberapa luka lebam di wajahnya dan juga goresan di punggung tangannya. Tanpa bilang apapun aku meninggalkan sebuah plester bergambar rilakuma di atas meja kala itu.

 

Dan tanpa kusadari, sejak itu Sangjun selalu berjalan mengekor di belakangku saat pulang sekolah. Aku tidak berpikir macam-macam karena rumah kami memang satu arah. Hanya berbeda Gang.

 

Belum juga selesai melamun, rupanya bisku sudah sampai di pemberhentian dekat rumah Sangjun.  Semenjak menjadi musisi dan barista, Sangjun pindah ke apartemen miliknya sendiri. Jaraknya sekitar 10 sampai 15 menit dari rumah lamanya dengan menaiki bus.

 

"Ting tong."  Aku memencet bel pintu. Tidak lama kemudian wajah Sangjun menyembul dari baliknya.

 

Begitu masuk, aku menyadari pemandangan apartemen Sangjun jauh berbeda dari yang aku tahu. Dulu ruang tamu selalu dihiasi baju kotor yang menggantung di pinggir sofa, berduet dengan sisa cup ramen beserta printilan botol plastik di atas meja.

 

Kini  ‘kawan-kawan kecil’ Sangjun itu tidak terlihat di sana, ruangan itu tampak sangat rapi serapi kemeja biru dongker berkancing yang sedang Sangjun pakai.

 

Aku sungguh ingin bertanya tentang perubahan suasana diruangan ini, tapi hubunganku dengan Sangjun terlampau canggung untuk membicarakan hal-hal remeh itu.

 

“Silakan duduk Jisoo-ya."

 

Aku pun mengikuti instruksinya, "Ini untukmu." ucapku sembari menyerahkan paper bag yang dari tadi ku bawa.

 

Dia tersenyum saat melihat isinya. Reed diffuser dan sebuah buku. Buku self improvement tentu saja. Sangjun tidak terkejut karena setiap aku pulang pasti membawakannya sesuatu untuknya.

 

Sebagian besar buku yang kini tertata rapi di rak samping sofa apartemen Sangjun sesungguhnya merupakan pemberian dariku. Kecintaannya terhadap membaca, baru kusadari melalui momen kecil yang tak disengaja.

 

Dulu ketika aku sudah pindah ke Seoul untuk kuliah, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya lagi semenjak lulus SMA.  Dan saat aku tinggal di Seoul, aku mendapat kabar mengejutkan dari salah satu teman SMA-ku.

 

Bahwa Sangjun tengah dirawat di Rumah Sakit Jiwa.

 

Entah mendapat keberanian dari mana, aku pun menyempatkan diri untuk menjenguk ia di sana. Aku merasa begitu peduli dengannya karena aku percaya Sangjun adalah orang baik, dan saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menemaninya.

 

Tapi alih-alih merasa malu, ia justru tersenyum lebar saat melihatku datang. Dia bilang aku adalah orang pertama yang menjenguknya di sana. Sangjun begitu senang karena setelah sekian lama akhirnya ia tidak merasa kesepian.

 

Sangjun pun bercerita panjang sampai-sampai jam kunjung saat itu tutup, sehingga aku harus kembali menjenguknya keesokan harinya untuk melanjutkan cerita itu.

 

Dari sana aku baru tahu kalau ia memiliki keluarga yang tidak harmonis, kacaukalau  Sangjun bilang. Sejak kecil ia tidak pernah diinginkan untuk lahir. Hingga dewasa ternyata keadaannya bertambah buruk. Sangjun bahkan menunjukkan bekas luka di alis kanannya akibat ayahnya yang pernah melempar gelas kaca waktu kecil, yang mengakibatkan pendarahan hebat di sana.

 

Sangjun berulang kali berusaha melakukan percobaan bunuh diri. Terakhir dibilang, ia meminum begitu banyak obat hingga tak sadarkan diri. Tahu-tahu bukannya keluar dari rumah sakit, Sangjun justru dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beruntung ia hanya butuh sekitar 3 bulan perawatan sebelum akhirnya boleh keluar.

 

Begitu entengnya Sangjun kala itu menceritakan kisah hidupnya sambil sesekali cekikikan, seolah-olah ia sedang menceritakan alien mampir ke bumi untuk mencari jodoh.

 

Dan saat itulah aku memberinya buku  berjudul I Want To Die But I Want To Eat Toppoki sebagai buku pertamaku untuknya. Tak kukira akan ada buku-buku selanjutnya yang menjadi alasan untuk kami sering bertemu bahkan setelah ia keluar dari rumah sakit.

 

Aku dan Sangjun selalu bertemu di luar saat aku pulang ke Busan. Dia tidak pernah ku ijinkan untuk menjemputku dirumah karena aku tidak ingin orang tuaku tahu bahwa kami berteman sampai sekarang.

 

Sudah sejak ia pindah ke daerah tempatku tinggal dulu orang tuaku selalu mewanti-wanti untuk tidak berhubungan dengan Sangjun. Kata orang tuaku keluarganya problematik dengan ayah seorang pemabuk, ibu yang selalu jadi korban dan anak yang suka berkelahi.

 

Jadi aku selalu bertemu dengan Sangjun secara diam-diam.

 

" Oraenman-iya Jisoo-ya. Jal jinaess-eo? (Lama tidak bertemu Jisoo ya, apa semuanya baik baik saja?) " sapa  Sangjun membuyarkan lamunanku.

 

"Mm… aku baik." jawabku. "Maaf tiba-tiba menghubungimu seperti sekarang."

 

Sudut bibir Sangjun menarik senyum. "Selalu. Setiap bertemu kau selalu bilang begitu."

 

Aku menunduk menggigit bibir bawahku.

 

"Apa terjadi sesuatu?" tanyanya lagi. "Atau ada yang ingin kau ceritakan padaku?"

 

Kali ini aku menghela nafas. Ya… itu memang kebiasaan burukku. Yaitu hanya akan meminta untuk bertemu Sangjun Jika ada yang ingin ku ceritakan padanya. Hanya ketika aku butuh. Jika tidak, aku akan pergi meninggalkannya.

 

Kali pertama kami lost contact saat aku menjalin hubungan dengan sunbaeku di bangku kuliah. Sunbaeku orang yang sangat protektif, jadi aku tidak bisa menghubungi Sangjun seperti sebelumnya.

 

Aku lebih fokus pada sunbaeku dan pergi meninggalkan Sangjun. Sangjun pun tidak berani mencari atau menanyakan kabarku karena ia tahu aku sedang dekat dengan seseorang.

 

Namun ketika hubunganku putus, tak ada orang lain yang bisa aku pikirkan selain Sangjun.

 

Saat itu aku menelponnya sambil menangis. Sangjun sangat khawatir dengan keadaanku hingga ia langsung menyusulku ke Seoul dengan bus pemberangkatan terakhir.

 

Sebesar itu pengorbanan yang Sangjun berikan padaku selama ini.

 

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku sebegitu bergantungnya dengan Sangjun.  Hari-hari di mana aku kesepian, diisi oleh kehadirannya meskipun kami memiliki jarak yang jauh. Terkadang aku pun pulang untuk menonton penampilan Sangjun di cafenya, Terkadang juga Sangjun menemaniku di Seoul saat aku tidak bisa pulang ke Busan.

 

Dan lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Semenjak lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan finance, aku jauh lebih sibuk. Aku jadi sering mengabaikan Sangjun.

 

Tapi ketika aku burnout, aku akan menelponnya dan lagi-lagi menumpahkan semua keluh kesahku padanya.

 

Sangjun selalu ada di situ. Dia tidak pernah kemanapun. Dia tidak pernah menuntut. Tidak pernah mengatakan bahwa aku salah. Dia selalu mendukungku. Selalu ada untukku. Berapapun lamanya aku mengabaikan dia, aku tahu Sangjun tidak akan pergi meninggalkanku

 

Untukku yang merupakan anak tunggal, memiliki sahabat seperti Sangjun merupakan anugerah. Dia tidak hanya sabar mendengarkan dan menemaniku, tapi juga memberiku perhatian dengan tulus.

 

Aku selalu menceritakan apapun padanya. Tidak hanya ketika  mood ku yang sedang buruk karena PMS tapi juga cerita tentang sunbae kantorku yang dekat denganku.

 

Sangjun tidak pernah memperlihatkan kelemahannya di hadapanku.  Tak pernah sekalipun menangis meski aku tahu hidupnya sangat berat. Hanya terkadang dia jadi lebih manja jika sedang sakit. Membuatku jadi tertawa geli saat melihat Sangjun seperti itu.

 

Aku menganggap semuanya baik-baik saja sampai suatu sore tiba. Sore yang jadi terakhir kalinya aku bertemu dengan Sangjun sebelum hari ini.

 

Aku ingat saat itu kami berdua tengah duduk di pinggiran pantai Haeundae  saat senja.  Aku sering meminta Sangjun untuk menemani pergi ke sana ketika aku sedang stress.  Terkadang kami akan berbincang sembari memakan chicken atau hanya duduk-duduk diam mengamati orang orang yang lewat.

 

Di tengah perbincangan ringan kami tiba-tiba ada seorang yeoja yang mendekat.

 

“Sangjun apa kau masih mengingatku?”

 

Sangjun menengok, dia menyipitkan matanya.

 

“Aku Rumi. Beberapa bulan lalu kau pernah menolakku.”  selorohnya mengingatkan Sangjun. “ Apakah dia wanita yang kau maksud…?”

 

Tiba-tiba yeoja itu menunjukku.

 

“.... orang yang kau bilang kau sukai sejak dulu?”  lanjutnya membuatku terkejut.

 

Aku tidak terlalu ingat apa yang diucapkan Sangjun setelah itu. Yang kuingat, Sangjun langsung menarik tanganku hingga kami berdua duduk membeku di dalam bus.

 

Bukan rahasia umum bahwa Sangjun cukup populer di tempat tinggal kami. Tubuhnya yang tinggi,  bakat menyanyinya yang bagus,  wajahnya yang tampan dengan pembawaan yang begitu ramah membuatnya dengan cepat menarik perhatian.

 

Sangjun pun beberapa kali bercerita setiap ada yeoja yang mendekatinya. Membuatku jadi tak segan pula bercerita jika aku sedang dekat dengan seseorang.

 

Tapi… yeoja-yang-disukai- Sangjun-sejak-dulu....adalah aku?

 

Begitu turun dari bus, kali ini giliranku menggamit tangan Sang Jun—menuntunnya menuju bangku kayu di sisi jalan setapak yang diselimuti cahaya lampu temaram.

 

Aku langsung meminta penjelasan.

 

Dan jawaban Sangjun kala itu cukup menjadi alasanku kembali menghilang untuk kesekian kalinya. 

 

“Biarlah perasaan ini menjadi urusanku.”

 

Terdengar singkat namun seperti sebuah palu besar yang menghantam perasaanku. Saat itu aku tahu aku tidak bisa membalas perasaannya. Mungkin sampai kapanpun tak akan bisa. Karena sejak awal aku tidak pernah berfikir untuk menjalani hubungan yang romantis dengannya.

 

Aku nyaman berada di sekitar Sangjun karena ia memahami diriku melebihi siapapun. Dan alasanku menolongnya untuk bangkit dari depresi dan percobaan bunuh diri karena aku merasa peduli dengannya.

 

Menurutku Sangjun tidak pantas mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Dan aku tetap berada dipihak Sangjun meskipun di dunia ini tak ada satupun yang berpihak padanya.

 

Namun aku tidak menyangka bahwa Sangjun melihat kepedulianku dengan cara yang lain. Kukira kami benar-benar sebatas teman, jadi akupun bebas menceritakan siapa crush ku, bagaimana wedding dreamku, dan apa kriteria cowok idamanku.

 

Aku bahkan berulang kali menyarankan Sangjun untuk berpacaran juga. Karena jujur aku sering merasa sedih meninggalkannya saat aku sedang dekat dengan seseorang atau ketika aku sibuk dengan pekerjaan.

 

Tapi Sangjun tidak berubah. Dia tetap disitu. Berdiri menungguku. Selalu hadir kapanpun aku butuh. Selalu memaafkanku karena aku begitu jahat datang dan pergi sesuka hatiku.

 

Aku merasa sangat kejam pada Sangjun karena ‘memanfaatkannya’ hanya ketika aku butuh. Jadi kupikir meninggalkannya adalah cara yang paling tepat agar dia lebih cepat melupakanku.

 

Namun kenyataannya aku menelan ludahku kembali hari ini. Aku menghubunginya lebih dulu karena jujur, aku merindukannya. Aku hampir gila melawan diriku sendiri sebelum akhirnya benar-benar pergi untuk menemui Sangjun.

 

Dan keberadaanku disini sekarang membuktikan bahwa aku kalah.

 

Aku mengamati Sangjun dari samping karena kami duduk bersebelahan. Entah kenapa kali ini sorot matanya terasa begitu asing.

 

Saat kami berdua sibuk mencari bahan obrolan, tiba-tiba ponsel Sangjun berbunyi. Buru-buru dia berlari ke kamar tidur sembari mengangkat telfon itu.

 

Chagiya…”

 

DEG!

 

Suara dari sebrang telfon Sangjun terdengar samar, tapi bagaikan suara petir di dalam hatiku.

 

Apa seseorang baru saja memanggil Sangjun dengan sebutan sayang?

 

Telfon itu tidak lama. Pembicaraannya pun sangat lirih, nyaris tidak terdengar.

 

Begitu Sangjun keluar dari kamar, buru buru aku bertanya padanya, “Apa kau ada janji?” Karena saat mengajak bertemu, aku selalu membuat keputusan sesuka hatiku. Tak bertanya dulu apa Sangjun sedang sibuk atau tidak.

 

Dia menggeleng. Berjalan ke arahku.

 

“Apa ada yang ingin kau sampaikan padaku?” Lanjutku memancing Sangjun. Saat itulah mataku tiba-tiba menangkap foto yang tertempel di kulkas dengan magnet. Sangjun pun menyadari arah pandangku.

 

“Tidak pa-pa. Ceritakan saja Sangjun.” Desakku lagi.

 

Kelopak mata Sangjun berkedip lebih cepat. Nafasnya menghela resah. Tapi kemudian bibirnya perlahan mengucap.

 

“Sekarang ada orang yang menggantikanmu untuk telfonan denganku setiap malam, Jisoo-ya.” buka Sangjun. “Yeoja itu adalah adik pemilik cafe ditempatku bekerja. Aku sudah cukup lama mengenalnya namun mulai dekat sejak musim dingin.”

 

Berarti sekitar 6 bulan yang lalu, kupikir.

 

“Awalnya kami hanya sebatas kenal sampai aku tak sengaja bertemu dengannya di Seomyeon (area pertokoan di Busan). Saat itu aku berencana membeli kado untuk kakaknya.” Sangjun menoleh ke arahku. “Kau pasti tahu kan, aku paling tidak bisa memilih barang. Jadi ia menawarkan diri untuk membantu.”

 

Jangankan kado, baju atau sepatu pun Sangjun tidak bisa memilih mana yang lebih cocok untuknya. Saat kecil hingga dewasa dia hanya memakai barang yang sudah dibelikan oleh ibunya. Dan saat mulai kerja, selalu meminta pendapatku. Bahkan menu makananpun Sangjun kerap kali tidak tahu harus memesan apa. Terkadang dia lebih memilih untuk tidak makan ketimbang bingung untuk menentukan pilihan. Atau.. hanya ramententu saja.

 

“Sebagai ucapan terimakasihku padanya, aku menraktirnya makan malam itu.” Lanjut Sangjun. “Sejak saat itu kami sering ganti-gantian traktir. Dan dia selalu mengecek apakah aku sudah makan atau belum. Sering kali ia juga mengantar makanan ke cafe hanya untukku.”

 

“Lalu sekarang kalian pacaran?” Tanyaku tidak sabar.

 

Sangjun tidak langsung menjawab. Ia menatapku sebentar. “Dia pernah bilang bahwa tidak ingin membebaniku dengan sebuah status. Dia tahu masa laluku yang buruk.” jawabnya. “Ia hanya ingin aku fokus untuk ‘sembuh’, dan berjanji untuk menemaniku dalam kondisi apapun. Jadi kami berdua sepakat untuk saling memperbaiki diri masing-masing dulu.”

 

Sembuh… aku hampir lupa bahwa Sangjun mengkonsumsi obat anti depresi pasca keluar dari rumah sakit. Tapi aku tidak tahu sekarang ia masih mengkonsumsinya atau tidak.

 

“Syukurlah, aku senang mendengarnya.”

 

Sangjun menunduk. “Bagaimanapun juga ini pengalaman pertamaku, aku tidak tahu harus melakukan apa.” ujarnya. “Aku tidak pernah membuka diriku untuk orang lain selain dirimu.”

 

“Dia pasti yeoja yang baik.”

 

Kali ini Sangjun mengangguk setuju, “Kau tahu kalau aku orang yang keras kepala. Tidak mungkin ada yang bisa bertahan denganku selain kau. Tapi ternyata dia berhasil meyakinkanku.” Lanjutnya. “Dia tidak hanya merawatku dengan baik, tapi dia juga selalu fokus dengan pekerjaannya yaitu mengelola sebuah bakery. Aku kagum dengannya yang memiliki passion sebesar itu.”

 

Semakin kesini entah kenapa aku merasakan sesuatu yang janggal dalam hatiku. Sekuat tenaga aku tahan semenjak aku menemukan foto yang tertempel di kulkas milik Sangjun.

 

Aku tidak pernah melihat Sangjun sesemangat ini menceritakan seseorang. Ketara sekali ia sedang jatuh cinta. Tapi dengan sangat hati-hati ia memilih kata untuk mencertakannya padaku. Sangjun tidak ingin menyakitiku.

 

Sejujurnya aku tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa dalam situasi ini. Aku mungkin akan tampak semakin jahat jika memperlihatkan keterkejutanku. Jadi aku memilih untuk tersenyum mendengar cerita Sangjun.

 

Ya… sudah seharunya aku bahagia bukan? Sejak dulu aku mencari cari alasan untuk meninggalkan Sangjun. Agar tidak bergantung padanya… Agar tidak menyakitinya lebih jauh.

 

“Sebenarnya aku kesini untuk meminta maaf padamu Sangjun.” ucapku sebelum aku menyesal.

 

“Untuk?”

 

“Untuk semua kesalahanku padamu. Maaf karena aku selalu datang dan pergi sesukaku.”

 

Sangjun tidak setuju.

 

“Mungkin memang hari ini semesta membawaku kesini untuk menyampaikan pesan padaku. Bahwa akhirnya aku punya alasan untuk tidak mengganggumu lagi.”

 

Sangjun protes tapi aku bergeming.

 

Aku tidak mungkin mengganggu namja yang sudah memiliki pasangan. Oleh karena itu aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak menemui Sangjun setelah ini.

 

“Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu, kau tahu Jisoo-ya.” jawabnya. “Kapanpun kau membutuhkanku, kau boleh menghubungiku.” Ia masih berusaha agar aku tidak pergi.

 

Tapi tidak. Kali ini aku tidak boleh goyah. Aku berjanji tidak akan menyakiti Sangjun lagi.

 

Aku sangat memahami bahwa sebenarnya Sangjun sudah berulang kali kewalahan dengan perilakuku padanya. Aku tahu dia sakit hati karena aku sering menghilang dan bahkan bersenang senang dengan orang baru tanpa melibatkannya.

 

Tapi Sangjun masih tetap berdiri di belakangku. Tetap siaga kalau sewaktu waktu aku butuh tempat untuk pulang.

 

Sayangnya kini situasinya telah berubah. Meskipun pintunya masih terbuka, tempat itu sudah terisi penuh.

 

***

 

Keesokan harinya, tepat pukul 11.44, kereta yang kutumpangi mulai melaju perlahan, meninggalkan Busan menuju Seoul. Rodanya menggilas rel dengan ritme yang makin cepat—membelah jalanan, melintasi kota demi kota di Korea Selatan, seolah menarikku menjauh dari kenangan yang belum sepenuhnya reda.

 

Padahal aku sengaja mengambil cuti untuk stay di Busan sampai hari Minggu, tapi di hari Kamis siang ini aku menghanguskan segala rencanaku.

 

Aku menyandarkan tubuh pada kursi, menelusuri isi gerbong dengan pandangan yang tenang. Hanya segelintir kursi yang terisi—sepi, sunyi, dan entah kenapa begitu menenangkan bagi sisi introvertku. Dalam keheningan itu, kutarik buku diary dari dalam tas. Ada dorongan yang kuat untuk menuliskan sesuatu… sebelum emosi yang kupendam sejak kemarin kembali mengabur dan menumpuk di dalam dada.

 

Akan jadi dusta kalau aku bilang tak merasa apa-apa. Sebab hatiku tahu, aku sedang kehilangan Sangjun—meski tubuhnya masih ada disana, nyata, namun rasanya seperti perlahan menjauh.

 

Tapi apa aku berhak merasa kehilangan?

 

Bukankah selama ini selalu aku yang berusaha pergi darinya meskipun gagal?

 

Dan ketika pertama kali aku menyadari bahwa Sangjun tidak lagi berada dalam lingkaran kendaliku, aku seperti hilang arah. Aku merasa tidak lagi memiliki pilihan kemana aku akan pergi saat aku tersesat dalam kesulitan.

 

Aku menyadari bahwa aku begitu arogan menganggap Sangjun hanya akan peduli padaku, meskipun banyak wanita yang menyukainya. Aku menganggap remeh perasaan Sangjun. Dan hanya memikirkan perasaanku sendiri.

 

Tanpa kusadari pandanganku semakin blur ketika air mata membanjiri kelopak mataku. Dadaku terasa sakit ketika kenangan manis tiba-tiba mencuat dalam ingatanku.

 

Sebelum menutup diary, aku sempat menuliskan sebuah kalimat afirmasi di kartu bergambar bunga yang sudah kusiapkan sejak dari Busan. Hanya itu satu-satunya cara yang kupunya untuk merawat luka yang tak bisa kulisankan—penghiburan kecil yang kuhadiahkan untuk diriku sendiri.

 

Namun ternyata, kereta tiba di Stasiun Seoul lebih cepat dari yang kupikirkan. Dengan sedikit tergesa, aku bangkit, meraih tasku, dan melangkah keluar—meninggalkan kereta bersama diary yang kini kupeluk erat.

 

Dan benar, ternyata Tuhan memiliki caranya sendiri untuk menuntunku. Tanpa sengaja kartu itu jatuh tepat ketika aku bangkit.

 

Sayangnya orang yang duduk di seberangku terlambat menyadarinya. Ia sempat berusaha mengejarku tapi siluetku lebih cepat menghilang di kerumunan. Namja itupun menghela nafas sembari membetulkan kacamatanya yang goyah karena berlari. Ia merasa payah karena tidak berhasil menemukanku.

 

Satu hal yang baru kusadari belakangan—namja itu ternyata melihatku menangis sepanjang perjalanan. Di tangannya sudah tergenggam sapu tangan bergaris coklat, seolah ia siap memberikannya kapan saja jika aku membutuhkannya. Tapi pada akhirnya, ia hanya diam, pura-pura larut dalam lagu dari headset yang bahkan tak memutar satu nada pun.

 

Chogiyo!” Sebuah suara tiba-tiba terdengar ketika aku keluar dari toilet stasiun Seoul.

 

Dan tepat setelah itu aku melihat seseorang menunjukan kartu yang tampak begitu familiar di mataku.

 

Tuhan memang selalu punya caranya sendiri untuk mengembalikan kita ke jalur yang seharusnya. Terkadang kita harus jatuh untuk tahu caranya bangkit, dan terkadang pula Tuhan harus menutup satu pintu agar kita mampu menemukan pintu lain yang terbuka.

 

"I didn’t choose the pain.
But today, I choose where it leads me."
Turning

Tulisku dalam kartu ucapan bergambar bunga yang baru saja kuterima dari namja itu.

-         The end -


Gimana guyssss

jangan lupa tinggalkan komentar!!

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...