Tokoh Pria: Sangjun
Latar: Korea Selatan (Busan–Seoul)
Gaya penceritaan: Sudut pandang orang pertama (Jisoo)
Tone: Melankolis, kontemplatif, reflektif
Sinar
matahari menyusup lembut lewat kaca jendela bus berwarna biru, menyapu wajahku
yang larut dalam lamunan. Mataku menyusuri barisan gedung-gedung yang akrab,
satu per satu, seperti menyapa kembali potongan kenangan di kota masa kecilku: Busan.
Sejak tadi malam tiba
dari Seoul, aku tidak sabar untuk bertemu dengan seseorang yang sangat aku
rindukan. Terhitung hampir satu tahun aku tak bertemu dengannya.
Orang itu adalah
orang yang selalu ingin aku ucapkan terima kasih sekaligus maaf karena semua
perlakuan ‘jahat’ku padanya. Meskipun demikian hanya dengan kalimat "Nanti
sore bisakah aku pergi ke apartemenmu?", sesuai dugaanku dia menjawab
dengan "Tentu saja".
Dia Sangjun. Aku
pertama kali mengenalnya saat duduk di bangku kelas 3 SMA. Sebagai murid
pindahan, bisa dibilang nama Sangjun terkenal dalam waktu yang singkat. Kata teman-temanku,
itu karena ia sering sekali terlibat perkelahian di sekolah.
Aku tidak mempercayai
rumor itu sampai di saat kami berdua duduk bersebelahan ketika ujian tengah semester.
Aku menemukan beberapa luka lebam di wajahnya dan juga goresan di punggung
tangannya. Tanpa bilang apapun aku meninggalkan sebuah plester bergambar
rilakuma di atas meja kala itu.
Dan tanpa kusadari,
sejak itu Sangjun selalu berjalan mengekor di belakangku saat pulang sekolah. Aku
tidak berpikir macam-macam karena rumah kami memang satu arah. Hanya berbeda
Gang.
Belum juga selesai
melamun, rupanya bisku sudah sampai di pemberhentian dekat rumah Sangjun.
Semenjak menjadi musisi dan barista, Sangjun pindah ke apartemen miliknya
sendiri. Jaraknya sekitar 10 sampai 15 menit dari rumah lamanya dengan menaiki
bus.
"Ting
tong." Aku memencet bel pintu. Tidak lama kemudian wajah Sangjun menyembul
dari baliknya.
Begitu masuk, aku
menyadari pemandangan apartemen Sangjun jauh berbeda dari yang aku tahu. Dulu
ruang tamu selalu dihiasi baju kotor yang menggantung di pinggir sofa, berduet
dengan sisa cup ramen beserta printilan botol plastik di atas meja.
Kini ‘kawan-kawan
kecil’ Sangjun itu tidak terlihat di sana, ruangan itu tampak sangat rapi
serapi kemeja biru dongker berkancing yang sedang Sangjun pakai.
Aku sungguh ingin bertanya
tentang perubahan suasana diruangan ini, tapi hubunganku dengan Sangjun terlampau
canggung untuk membicarakan hal-hal remeh itu.
“Silakan duduk
Jisoo-ya."
Aku pun mengikuti
instruksinya, "Ini untukmu." ucapku sembari menyerahkan paper bag
yang dari tadi ku bawa.
Dia tersenyum saat
melihat isinya. Reed diffuser dan sebuah buku. Buku self improvement
tentu saja. Sangjun tidak terkejut karena setiap aku pulang pasti membawakannya
sesuatu untuknya.
Sebagian
besar buku yang kini tertata rapi di rak samping sofa apartemen Sangjun
sesungguhnya merupakan pemberian dariku. Kecintaannya terhadap membaca, baru
kusadari melalui momen kecil yang tak disengaja.
Dulu ketika aku sudah
pindah ke Seoul untuk kuliah, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya
lagi semenjak lulus SMA. Dan saat aku tinggal di Seoul, aku mendapat
kabar mengejutkan dari salah satu teman SMA-ku.
Bahwa Sangjun tengah dirawat
di Rumah Sakit Jiwa.
Entah mendapat
keberanian dari mana, aku pun menyempatkan diri untuk menjenguk ia di sana. Aku
merasa begitu peduli dengannya karena aku percaya Sangjun adalah orang baik,
dan saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menemaninya.
Tapi alih-alih merasa
malu, ia justru tersenyum lebar saat melihatku datang. Dia bilang aku adalah
orang pertama yang menjenguknya di sana. Sangjun begitu senang karena setelah
sekian lama akhirnya ia tidak merasa kesepian.
Sangjun pun bercerita
panjang sampai-sampai jam kunjung saat itu tutup, sehingga aku harus kembali
menjenguknya keesokan harinya untuk melanjutkan cerita itu.
Dari sana aku baru
tahu kalau ia memiliki keluarga yang tidak harmonis, kacau—kalau Sangjun bilang.
Sejak kecil ia tidak pernah diinginkan untuk lahir. Hingga dewasa ternyata
keadaannya bertambah buruk. Sangjun bahkan menunjukkan bekas luka di alis
kanannya akibat ayahnya yang pernah melempar gelas kaca waktu kecil, yang
mengakibatkan pendarahan hebat di sana.
Sangjun berulang kali
berusaha melakukan percobaan bunuh diri. Terakhir dibilang, ia meminum begitu
banyak obat hingga tak sadarkan diri. Tahu-tahu bukannya keluar dari rumah
sakit, Sangjun justru dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beruntung ia hanya butuh
sekitar 3 bulan perawatan sebelum akhirnya boleh keluar.
Begitu entengnya Sangjun
kala itu menceritakan kisah hidupnya sambil sesekali cekikikan, seolah-olah ia
sedang menceritakan alien mampir ke bumi untuk mencari jodoh.
Dan saat itulah aku
memberinya buku berjudul I Want To Die But I Want To Eat Toppoki
sebagai buku pertamaku untuknya. Tak kukira akan ada buku-buku selanjutnya yang
menjadi alasan untuk kami sering bertemu bahkan setelah ia keluar dari rumah
sakit.
Aku dan Sangjun selalu
bertemu di luar saat aku pulang ke Busan. Dia tidak pernah ku ijinkan untuk menjemputku
dirumah karena aku tidak ingin orang tuaku tahu bahwa kami berteman sampai
sekarang.
Sudah sejak ia pindah
ke daerah tempatku tinggal dulu orang tuaku selalu mewanti-wanti untuk tidak
berhubungan dengan Sangjun. Kata orang tuaku keluarganya problematik dengan
ayah seorang pemabuk, ibu yang selalu jadi korban dan anak yang suka berkelahi.
Jadi aku selalu
bertemu dengan Sangjun secara diam-diam.
" Oraenman-iya Jisoo-ya. Jal jinaess-eo? (Lama tidak bertemu Jisoo ya, apa semuanya baik baik saja?) " sapa Sangjun membuyarkan lamunanku.
"Mm… aku
baik." jawabku. "Maaf tiba-tiba menghubungimu seperti sekarang."
Sudut bibir Sangjun
menarik senyum. "Selalu. Setiap bertemu kau selalu bilang begitu."
Aku menunduk
menggigit bibir bawahku.
"Apa terjadi
sesuatu?" tanyanya lagi. "Atau ada yang ingin kau ceritakan
padaku?"
Kali ini aku menghela
nafas. Ya… itu memang kebiasaan burukku. Yaitu hanya akan meminta untuk bertemu
Sangjun Jika ada yang ingin ku ceritakan padanya. Hanya ketika aku butuh. Jika
tidak, aku akan pergi meninggalkannya.
Kali pertama kami lost
contact saat aku menjalin hubungan dengan sunbaeku di bangku kuliah.
Sunbaeku orang yang sangat protektif, jadi aku tidak bisa menghubungi Sangjun
seperti sebelumnya.
Aku lebih fokus pada sunbaeku
dan pergi meninggalkan Sangjun. Sangjun pun tidak berani mencari atau
menanyakan kabarku karena ia tahu aku sedang dekat dengan seseorang.
Namun ketika hubunganku
putus, tak ada orang lain yang bisa aku pikirkan selain Sangjun.
Saat itu aku
menelponnya sambil menangis. Sangjun sangat khawatir dengan keadaanku hingga ia
langsung menyusulku ke Seoul dengan bus pemberangkatan terakhir.
Sebesar itu
pengorbanan yang Sangjun berikan padaku selama ini.
Aku tidak pernah
menyangka bahwa aku sebegitu bergantungnya dengan Sangjun. Hari-hari di
mana aku kesepian, diisi oleh kehadirannya meskipun kami memiliki jarak yang
jauh. Terkadang aku pun pulang untuk menonton penampilan Sangjun di cafenya,
Terkadang juga Sangjun menemaniku di Seoul saat aku tidak bisa pulang ke Busan.
Dan lagi-lagi aku
melakukan kesalahan. Semenjak lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan finance,
aku jauh lebih sibuk. Aku jadi sering mengabaikan Sangjun.
Tapi ketika aku burnout,
aku akan menelponnya dan lagi-lagi menumpahkan semua keluh kesahku padanya.
Sangjun selalu ada di
situ. Dia tidak pernah kemanapun. Dia tidak pernah menuntut. Tidak pernah
mengatakan bahwa aku salah. Dia selalu mendukungku. Selalu ada untukku. Berapapun
lamanya aku mengabaikan dia, aku tahu Sangjun tidak akan pergi meninggalkanku
Untukku yang
merupakan anak tunggal, memiliki sahabat seperti Sangjun merupakan anugerah. Dia
tidak hanya sabar mendengarkan dan menemaniku, tapi juga memberiku perhatian
dengan tulus.
Aku selalu
menceritakan apapun padanya. Tidak hanya ketika mood ku yang
sedang buruk karena PMS tapi juga cerita tentang sunbae kantorku yang
dekat denganku.
Sangjun tidak pernah
memperlihatkan kelemahannya di hadapanku. Tak pernah sekalipun menangis
meski aku tahu hidupnya sangat berat. Hanya terkadang dia jadi lebih manja jika
sedang sakit. Membuatku jadi tertawa geli saat melihat Sangjun seperti itu.
Aku menganggap
semuanya baik-baik saja sampai suatu sore tiba. Sore yang jadi terakhir kalinya
aku bertemu dengan Sangjun sebelum hari ini.
Aku ingat saat itu
kami berdua tengah duduk di pinggiran pantai Haeundae saat senja. Aku
sering meminta Sangjun untuk menemani pergi ke sana ketika aku sedang stress.
Terkadang kami akan berbincang sembari memakan chicken atau hanya
duduk-duduk diam mengamati orang orang yang lewat.
Di tengah
perbincangan ringan kami tiba-tiba ada seorang yeoja yang mendekat.
“Sangjun apa kau
masih mengingatku?”
Sangjun menengok, dia
menyipitkan matanya.
“Aku Rumi. Beberapa
bulan lalu kau pernah menolakku.” selorohnya mengingatkan Sangjun. “
Apakah dia wanita yang kau maksud…?”
Tiba-tiba yeoja
itu menunjukku.
“.... orang yang kau
bilang kau sukai sejak dulu?” lanjutnya membuatku terkejut.
Aku tidak terlalu
ingat apa yang diucapkan Sangjun setelah itu. Yang kuingat, Sangjun langsung
menarik tanganku hingga kami berdua duduk membeku di dalam bus.
Bukan rahasia umum
bahwa Sangjun cukup populer di tempat tinggal kami. Tubuhnya yang tinggi,
bakat menyanyinya yang bagus, wajahnya yang tampan dengan pembawaan yang
begitu ramah membuatnya dengan cepat menarik perhatian.
Sangjun pun beberapa
kali bercerita setiap ada yeoja yang mendekatinya. Membuatku jadi tak
segan pula bercerita jika aku sedang dekat dengan seseorang.
Tapi… yeoja-yang-disukai-
Sangjun-sejak-dulu....adalah aku?
Begitu turun
dari bus, kali ini giliranku menggamit tangan Sang Jun—menuntunnya menuju
bangku kayu di sisi jalan setapak yang diselimuti cahaya lampu temaram.
Aku langsung meminta
penjelasan.
Dan jawaban Sangjun
kala itu cukup menjadi alasanku kembali menghilang untuk kesekian
kalinya.
“Biarlah perasaan ini
menjadi urusanku.”
Terdengar singkat
namun seperti sebuah palu besar yang menghantam perasaanku. Saat itu aku tahu
aku tidak bisa membalas perasaannya. Mungkin sampai kapanpun tak akan bisa.
Karena sejak awal aku tidak pernah berfikir untuk menjalani hubungan yang
romantis dengannya.
Aku nyaman berada di
sekitar Sangjun karena ia memahami diriku melebihi siapapun. Dan alasanku
menolongnya untuk bangkit dari depresi dan percobaan bunuh diri karena aku
merasa peduli dengannya.
Menurutku Sangjun tidak
pantas mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Dan aku tetap berada dipihak
Sangjun meskipun di dunia ini tak ada satupun yang berpihak padanya.
Namun aku tidak
menyangka bahwa Sangjun melihat kepedulianku dengan cara yang lain. Kukira kami
benar-benar sebatas teman, jadi akupun bebas menceritakan siapa crush
ku, bagaimana wedding dreamku, dan apa kriteria cowok idamanku.
Aku bahkan berulang
kali menyarankan Sangjun untuk berpacaran juga. Karena jujur aku sering merasa
sedih meninggalkannya saat aku sedang dekat dengan seseorang atau ketika aku
sibuk dengan pekerjaan.
Tapi Sangjun tidak
berubah. Dia tetap disitu. Berdiri menungguku. Selalu hadir kapanpun aku butuh.
Selalu memaafkanku karena aku begitu jahat datang dan pergi sesuka hatiku.
Aku merasa sangat
kejam pada Sangjun karena ‘memanfaatkannya’ hanya ketika aku butuh. Jadi
kupikir meninggalkannya adalah cara yang paling tepat agar dia lebih cepat melupakanku.
Namun kenyataannya
aku menelan ludahku kembali hari ini. Aku menghubunginya lebih dulu karena
jujur, aku merindukannya. Aku hampir gila melawan diriku sendiri sebelum
akhirnya benar-benar pergi untuk menemui Sangjun.
Dan keberadaanku
disini sekarang membuktikan bahwa aku kalah.
Aku mengamati Sangjun
dari samping karena kami duduk bersebelahan. Entah kenapa kali ini sorot
matanya terasa begitu asing.
Saat kami berdua
sibuk mencari bahan obrolan, tiba-tiba ponsel Sangjun berbunyi. Buru-buru dia
berlari ke kamar tidur sembari mengangkat telfon itu.
“Chagiya…”
DEG!
Suara dari sebrang
telfon Sangjun terdengar samar, tapi bagaikan suara petir di dalam hatiku.
Apa seseorang baru
saja memanggil Sangjun dengan sebutan sayang?
Telfon itu tidak
lama. Pembicaraannya pun sangat lirih, nyaris tidak terdengar.
Begitu Sangjun keluar
dari kamar, buru buru aku bertanya padanya, “Apa kau ada janji?” Karena saat mengajak
bertemu, aku selalu membuat keputusan sesuka hatiku. Tak bertanya dulu apa
Sangjun sedang sibuk atau tidak.
Dia menggeleng.
Berjalan ke arahku.
“Apa ada yang ingin
kau sampaikan padaku?” Lanjutku memancing Sangjun. Saat itulah mataku tiba-tiba
menangkap foto yang tertempel di kulkas dengan magnet. Sangjun pun menyadari
arah pandangku.
“Tidak pa-pa.
Ceritakan saja Sangjun.” Desakku lagi.
Kelopak mata Sangjun berkedip
lebih cepat. Nafasnya menghela resah. Tapi kemudian bibirnya perlahan mengucap.
“Sekarang ada orang
yang menggantikanmu untuk telfonan denganku setiap malam, Jisoo-ya.” buka
Sangjun. “Yeoja itu adalah adik pemilik cafe ditempatku bekerja. Aku sudah
cukup lama mengenalnya namun mulai dekat sejak musim dingin.”
Berarti sekitar 6
bulan yang lalu, kupikir.
“Awalnya kami hanya
sebatas kenal sampai aku tak sengaja bertemu dengannya di Seomyeon (area pertokoan
di Busan). Saat itu aku berencana membeli kado untuk kakaknya.” Sangjun menoleh
ke arahku. “Kau pasti tahu kan, aku paling tidak bisa memilih barang. Jadi ia
menawarkan diri untuk membantu.”
Jangankan kado, baju
atau sepatu pun Sangjun tidak bisa memilih mana yang lebih cocok untuknya. Saat
kecil hingga dewasa dia hanya memakai barang yang sudah dibelikan oleh ibunya.
Dan saat mulai kerja, selalu meminta pendapatku. Bahkan menu makananpun Sangjun
kerap kali tidak tahu harus memesan apa. Terkadang dia lebih memilih untuk
tidak makan ketimbang bingung untuk menentukan pilihan. Atau.. hanya ramen—tentu saja.
“Sebagai ucapan
terimakasihku padanya, aku menraktirnya makan malam itu.” Lanjut Sangjun.
“Sejak saat itu kami sering ganti-gantian traktir. Dan dia selalu mengecek
apakah aku sudah makan atau belum. Sering kali ia juga mengantar makanan ke
cafe hanya untukku.”
“Lalu sekarang kalian
pacaran?” Tanyaku tidak sabar.
Sangjun tidak
langsung menjawab. Ia menatapku sebentar. “Dia pernah bilang bahwa tidak ingin
membebaniku dengan sebuah status. Dia tahu masa laluku yang buruk.” jawabnya. “Ia
hanya ingin aku fokus untuk ‘sembuh’, dan berjanji untuk menemaniku dalam
kondisi apapun. Jadi kami berdua sepakat untuk saling memperbaiki diri masing-masing
dulu.”
Sembuh… aku hampir
lupa bahwa Sangjun mengkonsumsi obat anti depresi pasca keluar dari rumah
sakit. Tapi aku tidak tahu sekarang ia masih mengkonsumsinya atau tidak.
“Syukurlah, aku
senang mendengarnya.”
Sangjun menunduk. “Bagaimanapun juga ini
pengalaman pertamaku, aku tidak tahu harus melakukan apa.” ujarnya. “Aku tidak
pernah membuka diriku untuk orang lain selain dirimu.”
“Dia pasti yeoja yang
baik.”
Kali ini Sangjun
mengangguk setuju, “Kau tahu kalau aku orang yang keras kepala. Tidak mungkin
ada yang bisa bertahan denganku selain kau. Tapi ternyata dia berhasil
meyakinkanku.” Lanjutnya. “Dia tidak hanya merawatku dengan baik, tapi dia juga
selalu fokus dengan pekerjaannya yaitu mengelola sebuah bakery. Aku
kagum dengannya yang memiliki passion sebesar itu.”
Semakin kesini entah
kenapa aku merasakan sesuatu yang janggal dalam hatiku. Sekuat tenaga aku tahan
semenjak aku menemukan foto yang tertempel di kulkas milik Sangjun.
Aku tidak pernah
melihat Sangjun sesemangat ini menceritakan seseorang. Ketara sekali ia sedang
jatuh cinta. Tapi dengan sangat hati-hati ia memilih kata untuk mencertakannya padaku.
Sangjun tidak ingin menyakitiku.
Sejujurnya aku tidak
tahu harus memberikan reaksi seperti apa dalam situasi ini. Aku mungkin akan
tampak semakin jahat jika memperlihatkan keterkejutanku. Jadi aku memilih untuk
tersenyum mendengar cerita Sangjun.
Ya… sudah seharunya
aku bahagia bukan? Sejak dulu aku mencari cari alasan untuk meninggalkan
Sangjun. Agar tidak bergantung padanya… Agar tidak menyakitinya lebih jauh.
“Sebenarnya aku
kesini untuk meminta maaf padamu Sangjun.” ucapku sebelum aku menyesal.
“Untuk?”
“Untuk semua
kesalahanku padamu. Maaf karena aku selalu datang dan pergi sesukaku.”
Sangjun tidak setuju.
“Mungkin memang hari
ini semesta membawaku kesini untuk menyampaikan pesan padaku. Bahwa akhirnya
aku punya alasan untuk tidak mengganggumu lagi.”
Sangjun protes tapi
aku bergeming.
Aku tidak mungkin
mengganggu namja yang sudah memiliki pasangan. Oleh karena itu aku berjanji
pada diri sendiri untuk tidak menemui Sangjun setelah ini.
“Aku tidak pernah
menganggapmu seperti itu, kau tahu Jisoo-ya.” jawabnya. “Kapanpun kau
membutuhkanku, kau boleh menghubungiku.” Ia masih berusaha agar aku tidak
pergi.
Tapi tidak. Kali ini
aku tidak boleh goyah. Aku berjanji tidak akan menyakiti Sangjun lagi.
Aku sangat memahami
bahwa sebenarnya Sangjun sudah berulang kali kewalahan dengan perilakuku
padanya. Aku tahu dia sakit hati karena aku sering menghilang dan bahkan
bersenang senang dengan orang baru tanpa melibatkannya.
Tapi Sangjun masih
tetap berdiri di belakangku. Tetap siaga kalau sewaktu waktu aku butuh tempat
untuk pulang.
Sayangnya kini
situasinya telah berubah. Meskipun pintunya masih terbuka, tempat itu sudah
terisi penuh.
***
Keesokan
harinya, tepat pukul 11.44, kereta yang kutumpangi mulai melaju perlahan,
meninggalkan Busan menuju Seoul. Rodanya menggilas rel dengan ritme yang makin
cepat—membelah jalanan, melintasi kota demi kota di Korea Selatan, seolah
menarikku menjauh dari kenangan yang belum sepenuhnya reda.
Padahal aku sengaja
mengambil cuti untuk stay di Busan sampai hari Minggu, tapi di hari
Kamis siang ini aku menghanguskan segala rencanaku.
Aku
menyandarkan tubuh pada kursi, menelusuri isi gerbong dengan pandangan yang
tenang. Hanya segelintir kursi yang terisi—sepi, sunyi, dan entah kenapa begitu
menenangkan bagi sisi introvertku. Dalam keheningan itu, kutarik buku diary
dari dalam tas. Ada dorongan yang kuat untuk menuliskan sesuatu… sebelum emosi
yang kupendam sejak kemarin kembali mengabur dan menumpuk di dalam dada.
Akan jadi
dusta kalau aku bilang tak merasa apa-apa. Sebab hatiku tahu, aku sedang
kehilangan Sangjun—meski tubuhnya masih ada disana, nyata, namun rasanya
seperti perlahan menjauh.
Tapi apa aku berhak
merasa kehilangan?
Bukankah selama ini
selalu aku yang berusaha pergi darinya meskipun gagal?
Dan ketika pertama
kali aku menyadari bahwa Sangjun tidak lagi berada dalam lingkaran kendaliku,
aku seperti hilang arah. Aku merasa tidak lagi memiliki pilihan kemana aku akan
pergi saat aku tersesat dalam kesulitan.
Aku menyadari bahwa
aku begitu arogan menganggap Sangjun hanya akan peduli padaku, meskipun banyak
wanita yang menyukainya. Aku menganggap remeh perasaan Sangjun. Dan hanya
memikirkan perasaanku sendiri.
Tanpa kusadari
pandanganku semakin blur ketika air mata membanjiri kelopak mataku. Dadaku
terasa sakit ketika kenangan manis tiba-tiba mencuat dalam ingatanku.
Sebelum
menutup diary, aku sempat menuliskan sebuah kalimat afirmasi di kartu bergambar
bunga yang sudah kusiapkan sejak dari Busan. Hanya itu satu-satunya cara yang
kupunya untuk merawat luka yang tak bisa kulisankan—penghiburan kecil yang
kuhadiahkan untuk diriku sendiri.
Namun
ternyata, kereta tiba di Stasiun Seoul lebih cepat dari yang kupikirkan. Dengan
sedikit tergesa, aku bangkit, meraih tasku, dan melangkah keluar—meninggalkan
kereta bersama diary yang kini kupeluk erat.
Dan benar, ternyata
Tuhan memiliki caranya sendiri untuk menuntunku. Tanpa sengaja kartu itu jatuh
tepat ketika aku bangkit.
Sayangnya orang yang
duduk di seberangku terlambat menyadarinya. Ia sempat berusaha mengejarku tapi
siluetku lebih cepat menghilang di kerumunan. Namja itupun menghela nafas
sembari membetulkan kacamatanya yang goyah karena berlari. Ia merasa payah
karena tidak berhasil menemukanku.
Satu hal yang
baru kusadari belakangan—namja itu ternyata melihatku menangis sepanjang
perjalanan. Di tangannya sudah tergenggam sapu tangan bergaris coklat, seolah
ia siap memberikannya kapan saja jika aku membutuhkannya. Tapi pada akhirnya,
ia hanya diam, pura-pura larut dalam lagu dari headset yang bahkan tak memutar
satu nada pun.
“Chogiyo!” Sebuah
suara tiba-tiba terdengar ketika aku keluar dari toilet stasiun Seoul.
Dan tepat setelah itu
aku melihat seseorang menunjukan kartu yang tampak begitu familiar di mataku.
Tuhan memang selalu
punya caranya sendiri untuk mengembalikan kita ke jalur yang seharusnya.
Terkadang kita harus jatuh untuk tahu caranya bangkit, dan terkadang pula Tuhan
harus menutup satu pintu agar kita mampu menemukan pintu lain yang terbuka.
"I didn’t choose the pain.
But today, I choose where it leads me."
— Turning
Tulisku dalam kartu ucapan bergambar bunga yang baru saja kuterima
dari namja itu.
-
The end -
Gimana guyssss
jangan lupa tinggalkan komentar!!
No comments:
Post a Comment