Tuesday 3 October 2017

FF OngNiel Wanna One : Serenity [Part 10]

Annyeonghaseyo wannabul!
Maaf telat satu hari, karena kemarin kebetulan full jadi ngga keposting hehehe
Tapi tenang~ part ini lumayan rada panjang. Nyeritain gimana nasibnya Jihyun pas bencana alam wkwkwk
Langsung aja ya~~


Tittle                    : Serenity [Part 10]
Author                                : Ichaa Ichez
Genre                  : Friendship, Romance, Angst, Family.
Rating                 : PG-15
Cast                      : Shin Jihyun, Ong Seongwoo, Kang Daniel, Hwang Minhyun. Choi Yena
Length                : Chapter.
Desclaimer        : This story is originally mine. This is only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!


“Terimakasih, silakan datang kembali.” Seongwoo menyapa pembeli dengan ramah. Ia lantas membetulkan topinya yang berwarna coklat sambil kembali mengecek pesanan.
                Siang itu café tempat Seongwoo bekerja tampak ramai seperti biasanya. Sebagian besar adalah mahasiswa Konkuk yang memiliki universitas paling dekat dari sana. Mereka biasanya akan mampir ke café untuk singgah sejenak atau justru membawa pesanan keluar.
                Setelah memastikan tidak ada lagi yang mengantri, Seongwoo lantas berjalan ke dapur untuk mengambil stok kue yang ada di kulkas. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti tepat didepan pintu pemisah antara dua ruangan.
                Seongwoo melihat ke arah TV sekilas, sepertinya ada sebuah berita menyita perhatiannya.
                ‘Bukankah itu taman Naejangsan?’ batin Seongwoo langsung menyambar remote TV untuk menaikkan volumenya.
                “…Pagi tadi telah terjadi bencana longsor di gunung Naejangsan. Beberapa area mendaki, termasuk taman Naejangsan terkena timbunan tanah yang jatuh dari gunung. Para warga yang tinggal di area Naejangsan akan segera di evakuasi…”
                DEG!
                Jantung Seongwoo tiba-tiba berdentum begitu cepat. Matanya menatap nanar layar LCD yang menampakkan suasana bencana yang terlihat mengerikan. Seongwoo tidak percaya bahwa di tempat itulah Jihyun berada.
Itu… tidak mungkin… kan?       
Dengan gerakan cepat Seongwoo langsung menyambar hoodie dan tas yang ia gantungkan dibelakang pintu. Namja itu lantas pergi terburu-buru tanpa mempedulikan teriakan rekan kerjanya yang tampak terkejut melihat ia tiba-tiba menghilang tanpa mengatakan apapun.
Kini yang ada didalam kepala Seongwoo hanyalah Jihyun. Ia tidak bisa mempercayai bahwa pagi tadi ia masih bisa melihat wajah cemberut yeoja itu tepat sebelum berpamitan untuk pergi ke Taman Naejangsan. Jihyun yang beberapa hari ini selalu mengeluh karena harus pergi kesana, rupanya memiliki firasat buruk tentang hal yang akan terjadi.
Dan ketika setiap kali yeoja itu mengatakan bahwa ia enggan pergi, Seongwoo selalu membujuk dan menyemangatinya. Selalu. Kenapa Seongwoo begitu bodoh dan melepaskan Jihyun begitu saja sementara sebuah musibah tengah menunggunya disana?
Betapa Seongwoo tidak bisa membendung besarnya penyesalan yang ia rasakan sekarang.
Setelah mendapatkan bus menuju stasiun kota Seoul, Seongwoo langsung memesan tiket menuju provinsi Jeolla Utara. Dari sana, Seongwoo pun masih harus menempuh perjalanan menggunakan bus setempat untuk mencapai kota Jeongup dimana Taman Naejangsan berada.
Pikiran namja itu kalang kabut. Ia sudah mencoba menghubungi Jihyun berkali-kali namun handphone milik yeoja itu tidak aktif. Semakin Seongwoo mencari tahu keadaan yang terjadi melalui berita di internet, semakin hatinya tidak tenang. Seongwoo tidak berani menebak bagaimana keadaan Jihyun sekarang, ia takut kalau kenyataan yang terjadi tak sama seperti apa yang ia harapkan.
Tidak… tidak mungkin kalau Jihyun celaka. Yeoja itu pasti akan baik-baik saja kan?
Meskipun sekarang keadaan taman Naejangsan sangat kacau, pasti Jihyun mampu menyelamatkan dirinya. Iya… pasti ada cara untuk menyelamatkan diri dari musibah itu. Jihyun pasti selamat. Dia pasti sedang berada disuatu tempat untuk menunggu bantuan.
Iya…kan?
Kaki Seongwoo bergetar tatkala hatinya semakin cemas dan tidak sabar untuk menemukan jawabannya. Meskipun sudah berulangkali ia meyakinkan dirinya untuk tenang, usaha itu tetap saja gagal. Seongwoo tidak bisa menyembunyikan perasaan takut yang pernah ia alami 10 tahun yang lalu.
Seonghee nuna. Kenangan menyakitkan yang pernah Seongwoo alami ketika kehilangan orang yang paling ia sayangi benar-benar menyiksa. Tidak mungkin jika Seongwoo harus menghadapinya sekali lagi. Tidak… Seongwoo tidak akan membiarkan Jihyun pergi meninggalkannya.
Secepatnya ia harus memastikan itu.
“Maaf tapi karena sedang ada bencana alam, akses menuju taman Naejangsan ditutup.”
Kalimat itu langsung membuat lutut Seongwoo lemas. Ia berdiri di pos bencana alam area pegunungan Naejangsan dengan pikiran kalut. Ketakutannya terasa lebih nyata sekarang. Jauh lebih mengerikan.
“Apakah ada cara lain untuk pergi kesana?” Seongwoo bertanya lagi, barangkali ia bisa menemukan jalan untuk kesana meskipun harus mendaki sekalipun.
Petugas dengan rompi oranye itupun menggeleng. “Saat ini beberapa titik jalan menuju pegunungan Naejangsan tertutup oleh longsor, bahkan jalan untuk mengevakuasi korban pun tidak ada. Jika anda memiliki seseorang yang mungkin menjadi korban, anda bisa menuliskannya disini. Kami akan berusaha secepat mungkin untuk menemukannya.”
Seongwoo mengamati tabel dengan deretan nama itu. Sebagian sudah ditulis oleh beberapa orang sebelum Seongwoo yang juga tengah mencari keberadaan rekan yang kemungkinan menjadi korban. Mereka semua berbondong-bondong menghampiri pos bencana alam terdekat area Naejangsan itu dengan harapan yang sama sepertinya. Ekspresi wajah yang sama, kekhawatiran yang sama, katakutan yang sama.
Hanya sekitar 2 kilometer jarak yang diperlukan untuk mencapai tempat evakuasi para korban. Lokasi itupun sama-sama berada di kaki gunung seperti tempat Seongwoo sekarang. Tapi kenapa begitu sulit untuk pergi kesana? Seongwoo hanya ingin memastikan bahwa Jihyun baik-baik saja. Ia sangat ingin mengetahuinya. Namun Seongwoo merasa kini ia tidak berguna.
Namja itu duduk di bawah pohon, berjongkok. Menunggu dengan pikiran yang kacau. Ia tidak menyadari bahwa ia tak merubah posisinya sama sekali hingga malam mulai larut dan padatnya lalu lalang orang-orang yang ada di pos itu lama kelamaan semakin pudar.
Sampai Seongwoo mendengar suara sebuah mobil dengan sirine cukup keras berjalan mendekat. Mobil tim evakuasi berwarna oranye cerah itu mulai mendekati gerbang pemisah yang sebelumnya telah ditutup. Dengan cepat Seongwoo bangkit, ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
Malam yang mencekam. Hutan gelap dengan jalan yang masih dipenuhi alang-alang tanpa jalur. Seongwoo memandang ke sekelilingnya sambil berpegangan erat di salah satu pinggiran truk. Badannya bergoyang tidak menentu, bahkan terkadang hampir jatuh karena jalanan miring dan penuh jurang.
Gwenchanha. Setidaknya setelah ini ia bisa bertemu dengan seseorang yang ia pikirkan sejak tadi.
Dari kejauhan terlihat sebuah desa kecil yang beberapa areanya hampir saja terkena longsor. Atap-atapnya tampak jelas terkena pantulan sinar bulan meski tak ada satupun penerangan disana. Perlahan lahan truk yang ditumpangi Seongwoo pun berjalan mendekati satu area dengan gedung sederhana dan lapangan cukup luas yang ada didepannya.
Seongwoo tercekat ketika mendapati tempat itu penuh dengan korban yang meringkuk menunggu bantuan. Bahkan ada beberapa yang terluka. Sebuah api unggun menyala-nyala ditengah. Memampangkan kesedihan para korban yang mendalam.
Seongwoo menghentikan langkahnya didepan gerbang gedung yang merupakan balai desa Naejangsan. Pandangannya berputar disana, mencari-cari seseorang yang mungkin ada diantara mereka. Semakin ia mengamatinya satu persatu, ketakutan yang ia rasakan semakin jelas terasa.
‘Jihyun nuna… dimana kau?’ ucap Seongwoo dalam hati, mencoba menenangkan pikirannya.
Sudah sejauh ini Seongwoo berjuang untuk mencari Jihyun. Ia tidak mungkin menyerah. Seongwoo harus bisa menemukan Jihyun di tempat ini, atau ia harus menerima kenyataan bahwa ia bisa saja kehilangan yeoja itu selamanya.
‘Jihyun nuna muncullah… jebal…’ Seongwoo berteriak dalam hati kali ini. Menyerukan harapannya.
Seongwoo benar-benar tidak sanggup menahan rasa kalut yang menyerang hatinya. Segala memory yang dulu pernah ingin ia lenyapkan kini justru tiba-tiba muncul disana. Waktu-waktu disaat Jihyun bermain bersamanya, menghabiskan masa kecilnya di Jeonju, hingga kini selalu menjaganya ketika mereka kembali bertemu 10 tahun kemudian.
Tidak ada yang lebih berharga daripada itu. Tidak ada yang lebih berharga ketimbang Jihyun dalam hidup Seongwoo. Dengan bodohnya Seongwoo baru menyadari bahwa ia sudah tidak memiliki siapapun didunia ini selain seorang yeoja yang senantiasa ada untuknya.
Dan sekarang yeoja itu sudah tidak ada. Orang yang Seongwoo cari tak ada disana. Jihyun tak ada disana.
Seongwoo kembali keluar dengan perasaan kosong. Hatinya sudah benar-benar hancur sekarang. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain menunggu kabar bahwa nama yang tadi ia daftarkan merupakan salah satu korban yang selamat. Hanya itu yang bisa ia harapkan.
“Seongwoo…?”
Sebuah suara terdengar dari arah belakang. Sangat pelan namun berdentum begitu keras di hati Seongwoo. Matanya membelalak, ia membalik badannya dengan cepat.
Dan benar, ia adalah yeoja itu. Yeoja yang masih menggunakan baju sama persis seperti yang ia temui pagi ini. Atasan kemeja berlapis syal tipis berwarna biru cerah, dan sebuah jeans hitam lengkap dengan sepatu sneakers berwarna senada. Rambut yeoja itu diikat kebelakang, sedikit berantakan. Wajahnya pun dihiasi beberapa noda kecoklatan yang tampak seperti butiran-butiran tanah. Namun sorot matanya masih sangat jelas.
Saat itu juga Seongwoo menghambur memeluk Jihyun. Kekhawatiran yang sejak tadi ia simpan seketika tumpah ruah. Mengetahui bahwa ia menemukan Jihyun dalam keadaan baik-baik saja membuat namja itu tidak bisa berkata-kata. Hanya nafas beratnya yang mampu menggambarkan betapa leganya ia bisa kembali bertemu dengan yeoja itu.
 “Nuna… gwenchana…?” Seongwoo menahan tangisnya kuat-kuat. Ia mengamati Jihyun dari atas sampai bawah untuk memastikan tak ada satupun luka disana.
Jihyun mengangguk cepat kemudian memeluk Seongwoo lagi. Kebahagiaan yang tiba-tiba hadir didepannya seketika membuncah. Ingin rasanya ia mengeluh begitu banyak pada namja yang ada didepannya ini sambil menangis sekeras-kerasnya. Mengatakan bahwa ia tengah ketakutan. Bahwa tidak ada yang sanggup ia lakukan selain menggantungkan harapan kecilnya untuk bisa kembali bertemu dengan orang-orang yang ia sayang.
Tapi yang Jihyun butuhkan kini hanyalah satu pelukan. Pelukan hangat dari Seongwoo yang bisa dengan cepat melenyapkan segala kekhawatiran yang melanda hatinya.
“Ini minumlah…” Tawar seseorang sambil ikut duduk bersama Seongwoo di pinggiran gedung. “Kau pasti sudah melewati banyak hal untuk sampai ke tempat ini.”
Namja dengan kemeja putih yang masih tampak rapi meskipun sedikit kotor itu sebelumnya sudah memperkenalkan diri sebagai senior Jihyun. Ia tersenyum melihat Seongwoo yang masih menggunakan seragam kerja part timenya sampai ke tempat ini. Hoodie yang sebelumnya namja itu pakai sudah ia berikan pada Jihyun karena cuaca disana cukup dingin.
“Gamsahamnida.” Jawab Seongwoo menerima kopi hangat itu dengan kedua tangannya.
“Jihyun banyak bercerita tentangmu.” Tiba-tiba saja Minhyun membuka pembicaraan, membuat Seongwoo menyesap kopinya sekilas untuk mendengarkan lanjutan kalimat itu.
“…Dia bilang dia senang bisa bertemu denganmu di Seoul. Padahal aku ingat sekali, hari pertamanya masuk kerja tampak begitu gugup dan sangat canggung. Tapi saat dia bercerita tentangmu, dia akan tampak sangat bahagia.”
Seongwoo mengalihkan pandangannya dari Minhyun ke secangkir kopi dalam genggamannya. Tersenyum tipis.
“Ada hari dimana Jihyun terlihat sangat kacau, tapi kemudian ia mengatakan bahwa sepulang kerja akan mampir ke tempat kau bekerja.” Lanjut Minhyun. “Saat itu juga pasti ekspresinya langsung berubah.”
Benarkah? Apakah sebegitu berharganya Seongwoo di mata Jihyun?
“Melihatmu sampai datang ke tempat ini tampaknya tidak ada yang perlu aku khawatirkan.” Minhyun menepuk pundak Seongwoo. “Tolong jaga dia baik-baik. Karena sepertinya kejadian hari ini cukup membuatnya shock.”
Seongwoo mengangguk kemudian mengikuti langkah Minhyun yang berjalan menjauh. Tatapannya beralih ke seorang yeoja yang baru saja berpapasan dan berbincang sejenak dengan Minhyun. Seorang yeoja yang kemudian tersenyum saat menyadari Seongwoo mengamatinya sejak tadi.
Seorang yeoja yang sangat ingin Seongwoo peluk sekali lagi.
***
                “Nunaaa~!” Daniel langsung menghampiri Jihyun ketika yeoja itu muncul di ujung koridor. “Nuna gwenchanha?” tanyanya dengan nada khawatir.
                “Hm, gwenchanha.” Jihyun tersenyum melihat ekspresi Daniel. Namja itu sampai menghentikan aktivitas hariannya hanya untuk menunggu kedatangan Jihyun di apartemen. Terbukti ia masih memakai kaus longgar tanpa lengan dengan celana pendek kesayangannya. Padahal Jihyun tahu benar, Daniel tidak pernah ‘bersantai’ didalam apartemen pada pukul 7 malam seperti sekarang.
                Tepat setelah Seongwoo berhasil menemukan Jihyun, perlahan-lahan proses evakuasi mulai bisa dilakukan. Satu persatu korban dibawa ke tempat yang aman. Termasuk Jihyun.
                Sebelum sampai di tempat ini Jihyun lebih dulu dibawa ke rumah sakit setempat untuk pemeriksaan kesehatan. Setelah itupun ia masih harus melakukan perjalanan untuk kembali ke Seoul. Karena itulah hampir 2x24 jam kemudian Jihyun baru bisa menginjakkan kakinya di apartemen.
                “Kalian sedang berpesta disini kenapa tidak mengundangku?”
                Seongwoo dan Daniel yang semula tengah menikmati chicken dan beer di atas rooftop terkejut dengan kehadiran Jihyun. Padahal sebelumnya mereka berdua sudah memastikan bahwa Jihyun tengah beristirahat di dalam apartemennya.
                “Nuna tidak tidur?” Tanya Daniel langsung berdiri untuk mempersilakan Jihyun duduk di bangku 2x2 meter itu.
                Jihyun hanya meringis.
                Seongwoo tidak merespon. Tatapannya diam-diam mengikuti gerakan  Jihyun untuk memastikan bahwa yeoja itu baik-baik saja.
                “Aku tidak pa-pa… Ayo kita habiskan!” Jihyun menyambar segelas beer dan meminumnya, seolah tidak terjadi apapun. “Bersulaang~~!”
                Ketiga gelas itu berbenturan pelan, diikuti dengan luapan buih pada beer yang perlahan sirna. Baik Daniel, Jihyun dan Seongwoo saling bertukar tatapan. Tersenyum bersamaan. Meskipun sekarang mungkin saja mereka akan mabuk dan melupakan segalanya. Namun sesungguhnya merekapun tidak yakin apakah pengalaman buruk yang baru saja terjadi akan benar-benar hilang.
                Saat itu pula tiba-tiba muncul orang keempat disana. Menggunakan sebuah dress sederhana berlapis cardigan tipis motif bunga, sosok itu berhenti tepat di samping tali-tali yang berjejeran diatas rooftop. Wajahnya tidak terlihat, menunduk. Rambut panjangnya tampak bergerak tidak beraturan karena tiupan angin. Meskipun demikian, siluet mungilnya terlalu familiar untuk dilupakan.
                Daniel langsung meletakkan gelasnya dengan kasar ketika tatapannya menangkap sosok yang tengah menangis itu.
                “Yena?!?”
-To Be Continue-

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...