Pages

Monday, 31 December 2018

FF Ongniel Wanna One : Serenity [PART 20/END]


                Sebuah ruangan yang terdapat di lantai atas gedung dengan dinding luar dipenuhi kaca tampak tegang dengan sorot proyektor yang mengarah pada layar LCD. Ditengah-tengahnya terpampang jelas rangkuman program yang sudah disusun selama tahun 2018 beserta rencana yang akan dilakukan untuk tahun 2019. Setiap karyawan yang mengikuti rapat itupun sudah siap merekam poin-poin penting dalam laptop mereka masing-masing untuk akhirnya akan disampaikan ke setiap divisi.

                Jihyun yang kini ‘menjabat’ sebagai co-creative director juga ikut duduk di salah satu kursi ruang itu. Tepat disampingnya terlihat Minhyun yang tampak focus mendengarkan dan siap menyampaikan program yang sudah ia persiapkan bersama Jihyun.
                Meski Minhyun tampak begitu serius memperhatikan kedepan, sejatinya ia tetap bisa menangkap kegelisahan partner kerjanya sejak sepuluh menit yang lalu telfon genggamnya berdering. Meskipun Jihyun berusaha untuk professional dengan mematikannya karena rapat pagi ini, namun raut wajah yeoja itu tidak bisa berbohong. Bahwa ada urusan penting yang menunggunya di suatu tempat.
                “Jihyun-ah.” Panggil Minhyun pelan.
                Jinhyun membetulkan posisi duduknya sebelum kemudian menghadap ke arah Minhyun.
                “Pulanglah.”
                Alis Jihyun naik.
                “Aku tahu fikiranmu sedang tidak berada disini sekarang.” Lanjutnya. “Karena itu…sebaiknya kau kau pulang sekarang.”
                “Tapi oppa–”
                “Sebagai gantinya kau harus memanggil Jaehwan kesini. Biar dia yang menggantikanmu.”
                Bola mata Jihyun bergetar penuh haru. Ia tidak menyangka Minhyun mengijinkannya pergi meski namja itu tidak mengetahui alasannya.
                “Yeoboseyo! Niel-ah!” Begitu keluar dari kantor, hal pertama yang Jihyun lakukan adalah menelfon balik seseorang yang membuatnya gelisah sejak tadi.
                “Nuna~ kenapa kau tidak mengangkat telfonku?” Ucap Daniel terdengar frustasi.
                “Mian, sedang ada rapat bersama direktur tadi. Ada apa?”
                “Seongwu hyung sudah ketemu–”
                DEG! Tubuh Jihyun membeku di tempat, mengabaikan panggilan supir taksi yang sudah siap menunggu didepannya.
                “… Kami ada di Rumah Sakit Incheon sekarang.”
Ru... rumah sakit?
                “Cepatlah kemari nuna! Keadaan hyung kritis. Kau harus segera melihatnya.”
***
                Kini bukan suara keyboard dan mouse computer yang Jihyun dengar, melainkan gerakan roda-roda tempat tidur serta derap langkah yang berjalan melewati koridor. Jihyun duduk disebuah kursi kayu panjang tepat didepan ruang operasi. Sudah lebih dari dua jam dia ada disana, namun tubuh kecilnya sama sekali belum beranjak.
                Disamping Jihyun kini ada Sungwoon yang tidak bosan berkali-kali menyuruh Jihyun untuk makan. Dan didepannya – tepat di bangku panjang seberang koridor, duduk Daniel dan seorang lelaki paruh baya berjaket padding yang tampak lusuh.
                Waktu Jihyun datang ke tempat ini, ia tidak pernah mempedulikan keberadaan orang itu. Pikirannya tersita oleh kondisi Seongwu yang kritis semenjak pertama kali namja itu di temukan. Lewat informasi yang Daniel berikan via telfon, dini hari Seongwu ditemukan seseorang di jalanan kota Incheon dengan luka tusukan di perut dan benturan di kepalanya. Di seluruh badan namja itupun terdapat lebam yang belum diketahui apa sebabnya.
                Jihyun sangat terkejut sampai ia tidak sanggup lagi mengeluarkan air matanya. Yang ada dalam pikiran yeoja itu hanyalah bagaimana keselamatan Seongwu yang pagi ini mendapatkan tindakan operasi, bukan bagaimana dan siapa yang menyebabkan Seongwu mendapatkan semua luka itu. Jihyun tidak ingin memikirkannya. Tidak sampai seorang lelaki paruh baya disamping Daniel buka suara beberapa saat yang lalu.
                Orang itu Mr. Kim. Mr. Kim adalah seseorang yang sempat bertemu dengan Daniel disaat Seongwu dan Jihyun pergi ke Jeonju beberapa minggu lalu. Mr. Kim mengaku sebagai teman dari orang tua Seongwu, lebih tepatnya teman dari Ong Abeonim (dulu Jihyun memanggil ayah Seongwu dengan sebutan itu). Saat pertama kali pindah ke Incheon, keluarga Ong sangat miskin dengan hutang pengobatan Seonghee yang bahkan belum lunas setelah Seonghee meninggal. Dan orang yang duduk diseberang Jihyun ini adalah orang yang mengenalkan Ong Abeonim pada Tuan Jung.
                Sejak tadi Mr. Kim tidak henti-hentinya meminta maaf pada Jihyun atas kesalahannya di masa lalu. Ia mengatakan tidak seharusnya dia mengenalkan keluarga Ong dengan Tuan Jung, karena semua permasalahan berawal dari sana.
                “Tuan Jung adalah seorang dept collector. Temanku mengatakan Tuan Jung sering meminjamkan uang dengan cara yang cepat.” Cerita Mr. Kim sambil terbatuk. “Tanpa berfikir panjang, Mr. Ong langsung meminjam uang pada Tuan Jung yang kala itu sudah jatuh tempo. Tapi aku tidak menyangka jika akhirnya harus seperti ini.”
                Dari nada bicaranya Jihyun tahu benar bahwa Mr. Kim merasa sangat bersalah. Bahkan ia sempat mengeluarkan air matanya saat menceritakan bagaimana usaha Seongwu untuk menutupi hutang-hutang itu di masa mudanya seorang diri.
                “Seongwu benar-benar menghadapi waktu yang sulit setelah kedua orang tuanya meninggal. Dia bahkan harus bekerja berat di pabrik dan mengambil paruh waktu di malam hari.” Mr. Kim terus saja bercerita sambil mengusap pipinya yang keriput. “Beberapa tahun terlewat, Seongwu pernah mengatakan bahwa semua hutangnya telah lunas. Tapi Tuan Jung terus saja mencarinya.”
                Jihyun mencoba menutup matanya karena tidak lagi sanggup membayangkan keadaan Seongwu lewat cerita Mr. Kim. Ternyata apa yang ia ketahui selama ini belum sepahit kenyataan yang sebenarnya terjadi. Jika saja Jihyun berusaha mencari keberadaan keluarga Ong setelah mereka pergi meninggalkan Jeonju, pasti Seongwu tidak harus melewati semuanya seorang diri.
                “Mianhe… mianhe Seongwu ya...” ucap Jihyun sambil berusaha menahan air mata yang hendak bergulir di pipinya.
                Sepertinya Seongwu memang sudah lelah dengan semua ini. Ketika terakhir dia mendapatkan kabar dari Mr. Kim bahwa Tuan Jung mencarinya, akhirnya Seongwu memilih untuk mengakhirinya. Mengakhiri semuanya dengan menghilang agar orang-orang yang berada disekitarnya tidak pernah merasakan rasa takut yang sama.
                Ong Seongwu. Namja berumur 19 tahun yang menanggung beban keluarganya hingga sekarang. Bekerja dengan giat mulai dari menjadi buruh pabrik hingga pelayan café, apapun Seongwu lakukan untuk melunasi hutang-hutang itu.
                Sampai Jihyun datang… dan memaksanya untuk menjadi sosok Seongwu sepuluh tahun lalu. Sosok dimana Seongwu masih bisa menikmati waktu luang di akhir pekan, menghabiskan sarapan hangat diatas meja, tidur dengan nyenyak di malam hari, dan melewati hidup dengan kenangan yang indah.
                Kini baru Jihyun menyadari betapa sulit bagi Seongwu untuk melakukan semua itu. Mustahil baginya untuk berpura-pura baik-baik saja dan menghadapi Jihyun seolah-olah Seongwu yang kini benar-benar sosok Seongwu sepuluh tahun yang lalu.
Namun yang terjadi… sosok itu masih bisa tersenyum didepan Jihyun, dengan genggaman yang erat, pelukan hangat, dan sebuah kecupan di pipinya. Meskipun itu sulit, Seongwu tetap melakukannya.
Karena ia menyayangi Jihyun lebih dari apapun.
Mengingat senyum terakhir yang Seongwu perlihatkan membuat Jihyun semakin tidak sanggup menahan cairan bening yang semakin deras mengalir. Dan tidak lama setelah itu, pintu yang sejak tadi tertutup perlahan terbuka. Disusul dengan seseorang berbaju biru dengan masker yang sudah ia sampirkan.
Tak ada lagi yang Jihyun inginkan didunia ini kecuali satu hal. Bahwa ia sangat ingin melihat senyum Seongwu kembali.
***
                 Setahun kemudian.
Sebuah buket bunga Jihyun letakkan tepat disamping nisan yang berjajar dengan rapi disamping nisan-nisan lainnya. Tidak lupa Jihyun pun menyelipkan selembar foto yang menampakkan dua insan berpakaian hanbok warna merah dan biru navi yang merupakan baju pernikahan tradisional korea. Disana juga terlihat senyum canggung diantara keduanya. Membuat Jihyun tersenyum mengingat sebuah kejadian yang pernah ia lewati tahun lalu.
                Setelah memanjatkan doa untuk seseorang yang namanya terukir dalam batu nisan itu, Jihyun menoleh pada namja yang berdiri disampingnya.
                “Kajja. Kita sudah berjanji pada Daniel agar tidak terlambat hari ini.”
                Namja itupun tersenyum. Dengan gerakan pelan ia meraih jemari Jihyun, menggenggamnya dan memasukkan ke dalam saku jaket musim dinginnya.
                “Jika mau tertawa, tertawa sajalah nuna.” Ucap namja itu sambil berjalan keluar area pemakaman.
                Alis Jihyun naik, “Maksudmu?”
                “Saat melihat foto pernikahan Umma dan Appa tadi, nuna teringat dengan foto kita berdua yang ada di Bukcheon kan?”
                Kali ini Jihyun tidak bisa menyembunyikan tawanya karena tebakan Seongwu benar.
                Ya… namja yang tengah berjalan disampingnya, menggengam tangannya dan memasukkan pada saku jaketnya ini adalah Seongwu. Seongwu yang satu tahun lalu sempat menghilang beberapa hari dan ditemukan dalam keadaan kritis, Seongwu yang ternyata masih menyimpan begitu banyak rahasia hidup, dan Seongwu yang kini telah benar-benar kembali.
                Mulai sekarang Jihyun bisa memastikan bahwa namja yang sangat ia cintai ini tidak akan pergi meninggalkannya. Semua masa lalu yang sempat datang dan mengancam nyawanya sudah benar-benar berakhir. Yang bisa Jihyun temukan sekarang adalah senyuman hangat dengan sorot mata teduh milik Seongwu.
                Jihyun pun jadi lebih sering pulang ke Jeonju, dia juga lebih sering bertemu dengan Sungwoon karena namja itu memutuskan untuk mencari pekerjaan di Seoul. Dan sama seperti hari ini, Seongwu beberapa kali mengajak Jihyun ke Incheon untuk mendatangi makam kedua orang tuanya.
                “Kenapa kalian berdua terlambat? Sudah kubilang acara hari ini sangat spesial.” Keluh Daniel saat Jihyun dan Seongwu muncul di ujung tangga rooftop apartemen mereka berdua. Diatas meja rooftop itu sudah terlihat bermacam-macam menu favorite mereka semua, mulai dari Jokbal kesukaan Seongwu, Jjampong special favorite Jihyun, pizza kesukaan Sungwoon, dan daging panggang favorite Daniel serta Yena.
                Hari ini tidak ada yang berulang tahun. Tak ada pula yang tengah merayakan anniversary. Tapi malam ini Daniel sengaja mengumpulkan orang-orang yang ia sayangi karena ia tidak tahu kapan lagi ia bisa menghabiskan waktu seperti sekarang.
                Ini adalah pertama kalinya bagi seorang Kang Daniel mencoba berkomitmen dalam menghadapi masa depannya. Sekarang saatnya bagi namja itu untuk meraih mimpi yang sudah lama ia pendam meski ia tahu akan begitu banyak hal yang harus ia korbankan. Termasuk meninggalkan orang-orang yang ia sayang.
                “Jika kau sudah debut nanti, jangan lupa untuk sering-sering mampir. Nuna akan membuatkan bulgogi kesukaanmu.”
                “Ne nuna.” Daniel tersenyum.
                “Ah iya~ Dan juga jangan menolak tawaran dari variety show SBC. Siapa tahu kita bisa bertemu nanti.”
                “Haha.. tenang saja nuna. Itu masih beberapa bulan lagi.”
                “Oiya, dengar baik-baik pesan hyung.” Sungwoon tiba-tiba membuka suaranya. “Cari sebanyak mungkin uang dan nikmati sebisa mungkin masa mudamu…”
                Semua orang disana menoleh bingung.
                “…sebelum kakekmu menelfon dan memintamu untuk menikah tahun depan!”
                Saat itu juga mereka tertawa kompak. Nasehat macam apa itu? Sepertinya Sungwoon tidak ingin menderita sendirian karena kakeknya melakukan hal yang sama seperti yang ia ceritakan.
                Seongwu pun ikut tertawa lepas, namun sorot matanya tertuju pada seseorang yang duduk disampingnya. Perlahan-lahan tawa itupun berubah menjadi senyuman penuh kelegaan. Ia tidak memiliki keinginan apapun didunia ini selain memastikan Jihyun bahagia bersamanya.
                Sedangkan Jihyun yang merasa diperhatikan pun membalas senyuman itu, ia bahkan diam-diam menyelipkan tangannya dibawah meja untuk menggenggam jemari Seongwu. Mulai sekarang Jihyun ingin menjadi salah satu alasan Seongwu menjalani hidupnya dengan bahagia.
                Dan satu satunya orang yang akan meninggalkan atmosfer penuh kerinduan ini tidak berhenti untuk menikmati saat-saat terakhirnya tinggal disana. Mungkin dalam beberapa waktu ia tidak bisa menjumpai mereka, namun setidaknya Daniel selalu punya rumah yang ia tuju saat ia ingin kembali pulang.
                Meskipun ketiganya menghadapi cobaan dengan porsi mereka masing-masing, namun semua itu bisa mereka hadapi dengan saling berpegangan satu sama lain. Menjaga dan senantiasa memastikan orang yang dicintainya bahagia, penawar dari masa lalu serta alasan untuk tetap tersenyum, dan menemukan komitmen hidup serta serius dalam menjalaninya. Semua itu adalah tujuan hidup mereka. Dan akhirnya merekapun mendapatkannya.
                That is… serenity.
-The End-

AKHIRNYA...
AKHIRNYAA~
AKHIRNYA MUNCUL KATA END JUGA DI FF INI!!
Berarti utangku udah lunas beneran ya gaysss~
Lunasnya pas banget tanggal 31 hiksss.

Jadi semalaman aku nglembur bikin ff ini, mikirin endingnya setelah berpisah(?) dan nentuin apakah JinOng bakalan balik atau engga.
Dan akhirnya aku mutusin kalo mereka bakalan bersama lagi. dengan harapan Power Of Destiny(?)

Akhir kata, makasih bagi yang mau baca sampe part terakhir. Maaf kalo updatenya sampe bertahun-tahun. Maaf juga kalo ada salah kataa. sampai jumpa besok di postingan baruku yang lain. Kalo FF mungkin bakalan One shoot hehehehe


Aku : "Hiks hiks"
Ong : "Nuna kenapa menangis?"
Aku : "Soalnya mau berpisah sama wannaone..."
Ong : "Ngga papa nuna, kita pasti bakalan ketemu lagi."
Aku : " Hik hik"
Ong : *peluk* 

wkwkwkwkwkwk Annyeong!


  

No comments:

Post a Comment