Pages

Saturday, 30 June 2012

FF SHINee : Fucshia [Part 8]

Annyeonghaseo fuchsiaer-ndeul? (?)
Mian baru bisa balik lagi ._.v
Aku ampe terharu ternyata banyak juga yang nanyain ff ini lewat mention, komen blog sampe wall fb. Makasih buat yang masih mau setia nungguin (walo ternyata bnyk cerita yang ga seperti readers harepin u.uV)
Sebelum mulai baca, ada baiknya flashback bntar ke part sebelumnya.
Ini dia guys:
Hyosun tampak sibuk dengan tenderloin steak yang kini tinggal setengah. Sesekali yeoja itu tersenyum ke arah Onew, sesekali pula sekedar menghela udara beraroma terapi yang berasal dari sebuah lilin dengan nyala redup.
“Happy anniversary Hyosun.” Ucap Onew seraya menyerahkan kotak itu pada yeoja cantik yang duduk didepannya.
Dengan tulisan besar berwarna merah, headline papan pengumuman itu berbunyi “YEONJU (KEKASIH MINHO) TELAH BERSELINGKUH DENGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN”
“…sebenarnya apa yang terjadi antara fakultas fotografi dan kedokteran? Sepertinya masih ada info lain yang sunbaenim ketahui.”
“Tidak. Tidak akan pernah.” Ucap Minho tajam. “Rektor masih tutup telinga sampai sekarang. Dan tidak banyak yang tahu, sebenarnya dia sangat tertarik dengan fakultas kedokteran karena putranya sendiri sedang berkuliah disana. Terdengar kekanakan bukan?”
Orang yang baru saja Minho bicarakan adalah Onew, teman SMA sekaligus kekasih dari sahabat Yeonju sendiri. Onew yang ia kenal begitu dewasa dan baik hati, ternyata pemicu terjadinya semua ini.
And..now….here’s the stories…



Tittle : Fuchsia [Part 8]
Author : Ichaa Ichez Lockets
Genre : Friendship, Romance, Angst.
Rating : T
Cast : Lee Yeonju, Kim Hyosun, Lee Jinki (Onew), Choi Minho.
Length : Chapter
Desclaimer : This story is originally mine. This is only a FICTION, my IMAGINATION and the character is not real. Enjoy reading!


Lampu koridor kampus sudah menyala 1 jam lalu. Mahasiswa yang sejak pagi memenuhi tiap sudut ruangan mulai meninggalkan kampus tepat ketika langit berubah gelap. Hanya sebagian yang memilih tinggal, sibuk dengan organisasi mahasiswa dan ada pula yang memilih berkutat dengan laptop di salah satu ruangan lantai 3 gedung B.
“Batrainya hampir habis, apa kau membawa chargernya?” tanya Minho mengalihkan pandangan dari LCD laptop ke arah Yeonju yang duduk disampingnya.
Yeonju menggeleng, “Mianhamnida aku lupa membawanya.”
Lantas Minho mengambil flashdisk dan menyimpan beberapa hasil editannya disana. “Gwenchana, mungkin sudah saatnya kita pulang.” Minho tersenyum. “Gomawo sudah mengajariku Yeonju.”
“Ne. Cheonmaneyo sunbaenim.”
Panggilan Yeonju lagi-lagi membuat Minho menahan tawa, “Bisakah kau berhenti memanggilku dengan sebutan seperti itu?” tanya Minho sedikit protes. “Terdengar terlalu formal.”
Yeonju terkejut melihat reaksi Minho, cepat-cepat dia menarik ucapannya. “Mianhamnida sunbaenim. Oh... Oppa?”
Kali ini Minho justru tertawa, nada bicara Yeonju yang dipaksakan jauh lebih terdengar aneh daripada panggilan Yeonju sebelumnya. “Haha, terserah kau sajalah. Sebagai tanda terimakasih karena kau membantuku, bagaimana kalau sekarang kutraktir makan?”
Sebuah tawaran yang menggiurkan. Semula Yeonju ingin menolak, namun melihat wajah Minho-yang-tampak-begitu-bersemangat membuatnya enggan menolak. Minho bilang ada sebuah kedai di dekat apartemennya yang menjual Seolleongtang paling enak di korea.  Rasa daging sapinya sangat kuat dan kuah supnya juga kental, cocok dijadikan hidangan makan malam di cuaca yang dingin seperti malam ini.
“Aigoo, tutup?” belum sempat Minho membuktikan ucapannya, ternyata kedai yang mereka tuju justru tampak sepi dengan lampu yang dimatikan.
Minho membuang nafas berat. Sudah 20 menit dia dan Yeonju menaiki bus dan berjalan kaki 10 menit hanya untuk ke tempat ini, ternyata semuanya sia-sia. Namja itu jadi tidak enak dengan Yeonju karena tidak bisa memenuhi janjinya.
“Ugh... Bagaimana ini?” Minho mengacak rambutnya kesal, tak berani menatap Yeonju yang justru tampak santai.
“Gwenchana Sunbaenim, kita bisa makan ditempat lain.”
“Oh bagaimana kalau kita ke...”
BRESSS....
Lagi-lagi ketidakberuntungan menghampiri mereka berdua. Bukan hanya gagal untuk makan bersama, tapi sekarang harus terjebak di teras kedai yang sempit ini dengan perut keroncongan. Lengkap sudah.
Lama kelamaan hujan justru turun semakin deras. Yeonju jadi cemas memikirkan bagaimana dia pulang. Halte bus cukup jauh dari tempat ia berlindung sekarang, itu artinya Yeonju harus berfikir dua kali jika tidak ingin tubuhnya basah kuyup sampai rumah nanti.
Disaat Yeonju sedang asik melamun, tiba-tiba ia merasakan flash kamera baru saja menyorot ke arahnya.
“Sunbaenim?”
Minho tersenyum seraya menurunkan kamera itu dari wajahnya. Membuat niat Yeonju yang semula ingin meraih kamera itu menguap tiba-tiba. Ia hanya sanggup memajang wajah kesal kemudian kembali melamun.
Klik!
“Sunbaenim!”
Minho mengulanginya dan kali ini dahi Yeonju berkerut tanda ia tak mau bermain-main lagi.
“Oke oke aku akan menghentikannya.” Ucap Minho tertawa kecil kemudian melihat hasil fotonya. “Ekspresimu natural sekali.”
“Eh?” Yeonju ingin merebut kamera itu dan menghapus foto yang baru saja Minho ambil, namun Minho lebih cepat mencegah dengan sebelah tangannya. Membuat tatapan mereka bertemu dalam beberapa saat.
Yeonju terdiam sambil berusaha menghentikan detak jantungnya yang sulit untuk dikendalikan ketika dengan jelas ia melihat cerminan wajahnya di kedua bola mata Minho yang bulat. Tubuhnya tiba-tiba saja membeku, hingga waktu yangberjalan beberapa detik terasa ber jam-jam lamanya.
“Ini akan kusimpan sebagai kenang-kenangan. Apa kau keberatan?”
Cepat-cepat Yeonju menarik tangannya dan duduk seperti semula. Ia hanya sanggup mengangguk kemudian.
“Ini sudah hampir jam 9 malam...” Minho melirik jam tangannya. “...hujan juga belum mereda. Bagaimana kalau kita sekarang ke apartemenku saja?” tanya Minho menyadari kenapa-dia-tidak-berpikiran-seperti-ini-sejak-awal.
“Ne?”
“Jarak dari sini ke apartemenku tak sampai 5 menit. Sedangkan ke halte membutuhkan waktu 10 menit. Sayangnya karena ini sudah hampir jam 9, maka bus kota juga hampir habis. Kusarankan sebaiknya untuk malam ini kau menginap saja di apartemenku Yeonju.”
Yeonju melayangkan tatapan ‘apakah kau yakin dengan ucapanmu?’ pada Minho. Karena kalimat terakhir yang namja itu ucapkan terdengar ambigu di telinganya. Tapi Minho membalasnya dengan tatapan serius, lagipula tak ada pilihan lain. Tidak mungkin jika Yeonju harus pulang dengan berjalan kaki. Apalagi sekarang masih hujan.
Dan keputusan terakhir yang (terpaksa) Yeonju ambil adalah menerima tawaran Minho itu.
“Masuklah Yeonju.” Ucap Minho membuka pintu lebih lebar sesaat setelah mereka tiba. Yeonju pun segera melepas sepatunya yang basah karena mereka sempat menerobos hujan untuk sampai kemari.
Pandangan Yeonju menyapu ke setiap sisi ruangan yang ada didepannya. Kurang lebih sama dengan apartemen Yeonju. Ada 2 kamar, dapur kecil, kamar mandi dan ruang tengah. Sebuah sofa coklat tua bertengger di sudut ruang tengah menghadap ke televisi senada dengan cat tembok yang berwarna krem.
Tapi yang Yeonju heran adalah, apartemen ini sangat bersih. Semua barang tertata rapi di tempat semestinya. Bahkan (harus Yeonju akui) lebih rapi dari apartemen Yeonju sendiri. Itupun karena Hyosun yang supercerewet jika menemukan sedikit tumpukan di apartemennya.
“Kenapa masih berdiri disana?” ucap Minho sambil menyalakan lampu seluruh ruangan, “Duduklah disini Yeonju, aku akan mencarikan pakaian ganti untukmu.”
Yeonju yang semula berdiri didepan pintu langsung berjingkat ke tengah ruangan. Bukannya duduk, yeoja itu justru tertarik dengan foto-foto yang tertempel di tembok. Mungkin berjumlah puluhan. Atau ratusan, Yeonju tak tahu pasti. Yang jelas satu sisi tembok hampir penuh karenanya.
“Mian aku tidak punya baju yeoja. Aku hanya punya ini.” Minho keluar dari kamar kemudian menunjuk kaos berwarna putih yang dibawanya. “Baju ini kekecilan jadi tidak pernah kupakai. Dan celana ini...” Minho ragu-ragu mengatakannya. Sempat terdiam melihat celana training berwarna hitam itu. “Ehmm... ini bersih.” Setelah berfikir cukup lama, hanya itu yang bisa Minho ucapkan. Membuat Yeonju terpaksa menahan tawa.
“Aku pinjam kaos sunbaenim saja, lagipula celanaku tidak terlalu basah.”
Setelah berganti pakaian-yang-Minho-bilang-kekecilan-untuknya-tapi-cukup-besar-untuk-Yeonju-itu, Yeonju sempat mengecek barang dalam tasnya kalau-kalau ada yang basah sementara Minho menyiapkan makan malam. Tadinya Yeonju ingin membantu, tapi Minho mencegahnya.
Ada sisi lain dari Minho yang Yeonju temukan hari ini, bahwa dia sangat baik dalam memperlakukan yeoja. Yeonju sendiri tidak terbiasa menerimanya, namun dimanapun itu, berada di sekitar Minho selalu membuatnya nyaman.
“Semua foto di dinding itu sunbaenim yang mengambilnya?” tanya Yeonju seusai makan malam.
Minho menoleh mengikuti arah pandang Yeonju, “Ne. Aku hanya iseng menempelkannya disana.”
“Bagus.” Seloroh Yeonju. Minho menaikkan alisnya.
“Kau juga bisa melakukan hal yang sama dirumah, Yeonju.” Saran Minho yang langsung membuat Yeonju tersenyum tipis.
“Ne, mungkin besok kalau aku sudah bisa mengambil foto sebagus sunbaenim.”
“Ah iya, aku pernah berjanji mengajarimu dulu. Kapanpun kau ada waktu aku pasti akan memenuhinya.”
Yeonju tertawa pelan sambil menunduk. Tatapannya tiba-tiba saja menangkap sebuah foto yang dibiarkan tergeletak dibawah meja kecil disamping sofa. Jelas sekali itu foto seorang yeoja yang kira-kira berumur 30 tahunan. Ia tampak menggunakan baju terusan berwarna putih sambil berdiri di sebuah padang rumput. Senyum wanita itu mengingatkan Yeonju pada senyum Minho, bahkan mata indahnya juga sama persis dengan dengan mata yang selalu sanggup membuat Yeonju terhipnotis dalam hitungan detik itu.
“Itu ummaku.” Ucap Minho mengerti pikiran Yeonju. Dia justru mengambilnya kemudian menyerahkan foto itu pada Yeonju.
“Neomu yeppeo.” Bahkan di usianya yang mungkin berkepala tiga, wanita dalam foto itu terlihat masih cantik.
Tak ada jawaban. Minho ikut menatap foto itu dengan ekspresi yang tak sanggup Yeonju baca, seakan-akan foto itu menyimpan sebuah memori yang kini kembali berputar dalam pikirannya. Memori yang tentu saja tidak Yeonju ketahui.
“Apakah umma sunbaenim juga seorang fotografer?” tanya Yeonju hati-hati. Ia hanya mencoba mencari jawaban atas rasa penasarannya karena melihat ada sebuah kamera yang tergantung di leher wanita dalam foto itu.
Minho mengangguk. “Dia selalu memintaku untuk menjadi objek fotografinya.”
“Pasti hasil foto umma sunbaenim sangat bagus.” Puji Yeonju yang membuat Minho tersenyum tipis.
“Tapi sayang, semua foto itu sudah tak ada sekarang...”
Yeonju menoleh menatap Minho lekat.
“...sudah terkubur bersama wanita dalam foto ini.” ‘Dan karena itulah setiap kali aku melihat fotoku sendiri, selalu mengingatkanku padanya.’ Minho tidak melanjutkan, hanya mengatakan kalimat itu dalam hatinya.
Tatapan Yeonju berubah sendu ketika ia sanggup membaca ada sebuah kesedihan dalam nada bicara Minho yang halus. Diamatinya dengan seksama raut wajah namja itu dari samping. Lengkung wajah yang sempurna, rahang yang tidak terlalu keras, hidung yang mancung dan kedua mata yang kini tengah memandang Yeonju dengan teduh. Bisa Yeonju temukan ada lapisan bening yang tipis melapisi kedua mata bulat itu, Minho tampak berkaca-kaca tapi ia berusaha tersenyum menenangkan.
“Foto ini aku sendiri yang mengambilnya.” Kenang Minho. “Saat itu aku masih berumur 14 tahun.”
Pikiran Yeonju langsung melayang membayangkan bagaimana sosok Minho saat berumur 14 tahun. Pasti tubuh jangkungnya ini membuatnya terlihat sangat kurus. Tapi bakat fotografinya sudah jelas terlihat kala itu.
“Sunbaenim masih berumur 14 tahun saja sudah pandai mengambil gambar seperti ini. Pantas sekarang bisa menjadi fotografer yang hebat.” Pujinya lalu tersenyum lebar.
Minho pun ikut tersenyum. “Kau bisa saja Yeonju.” Namja itu merasa sedikit terhibur dengan senyum Yeonju yang belum pernah ia perlihatkan sebelumnya. Tapi kemudian wajah Minho kembali muram ketika menatap pias foto dalam bingkai berwarna coklat itu.
“Sebaiknya kau tidur sekarang Yeonju, aku tidak mau kau jatuh sakit besok.” Ucapnya kemudian beranjak masuk kedalam kamar yang Yeonju yakin pasti sedang menyembunyikan kesedihan disana.
Suasana yang tadinya sempat hangat mendadak dingin karena kepergian Minho. Tak ada kata-kata yang sanggup Yeonju lontarkan. Gadis itu membeku ketika tanpa sengaja kembali menemukan sisi lain dari namja yang ia kagumi. Haruskah ia sekarang mencoba membuat Minho tenang? Tapi apa yang bisa ia lakukan? Lagipula Yeonju bukan Hyosun yang sanggup mengutarakan keinginannya secara gamblang.
Dan pada akhirnya Yeonju hanya sanggup terdiam sambil mengamati foto dalam pangkuannya sekali lagi.
***
‘Maaf aku harus pergi tanpa berpamitan. Terimakasih atas semuanya. Jangan lupa habiskan sarapanmu sunbaenim.’ – Lee Yeonju.
Minho membaca tulisan disamping sebuah mangkuk berisi bubur yang masih hangat itu sambil tersenyum. Ia tidak menyangka Yeonju harus pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu, padahal tadinya Minho bermaksud mengajak gadis itu untuk sarapan di kedai yang belum sempat mereka kunjungi kemarin. Tapi toh sekarang ia sudah pergi. Minho jadi penasaran bagaimana rasa bubur buatan yeoja pendiam dan sedikit tomboy seperti Yeonju.
“Tidak buruk.” Ucap Minho sambil memasukkan sesendok bubur kedalam mulutnya.
Disaat yang sama Yeonju sudah meluncur menaiki bus kota. Kepalanya yang terasa berat diletakkan begitu saja ke jendela kaca. Gadis itu terpejam, mencoba meneruskan tidurnya tadi malam yang tertunda. Bukan karena Minho tidak memberikan tempat yang nyaman untuknya, namun pembicaraan terakhir mereka berdua sebelum tidur membuat Yeonju tak sanggup berhenti memikirkannya.
Ekspresi Minho benar-benar belum pernah Yeonju temukan sebelumnya. Yeonju tidak menyangka namja yang selalu tampak tenang dan santai itu ternyata menyimpan sebuah kisah sedih selama ini. Apakah Minho sangat menyayangi wanita dalam foto itu sampai-sampai sekarang ia meneruskan profesi beliau? Atau justru membencinya sehingga menolak setiap kali difoto karena teringat dengan wanita itu? Apapun jawabannya, Yeonju tahu ia tidak berhak ikut campur.
Yeoja yang semula tenggelam dibalik hoodie berwarna hitam itu membuka mata ketika bus yang ditumpanginya tiba-tiba berhenti. Dia sempat menguap sekilas sebelum akhirnya dengan gontai turun menuju sebuah bangunan besar yang selama ini sudah menjadi rumah kedua baginya.
Rumah sakit.
Pagi itu masih tampak sepi disana. Sesekali perawat beralu lalang mengecek setiap pasien rawat inap yang memerlukan bantuan. Yeonju kenal beberapa. Mungkin karena sudah terlalu lama ibunya disini Yeonju sampai hafal dengan jadwal para perawat itu setiap pagi.
“Yeonju!”
Langkah Yeonju terhenti tepat ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya di ujung koridor. Dalam waktu singkat Yeonju sanggup mengenalinya ketika sosok itu menyunggingkan senyuman.
“Annyeonghaseo Oppa...” Yeonju menyapa Onew lebih dulu sambil membungkuk.
“Mau menjenguk ummamu?”
Yeonju mengangguk.
Onew yang beberapa bulan ini praktek dirumah sakit tempat ibu Yeonju menginap tentu saja tahu benar apa maksud Yeonju kemari. Bahkan setiap kali Onew masuk, dia selalu menyempatkan diri mengunjungi kamar ibu Yeonju. Terkadang mengecek bagaimana kesehatannya, terkadang pula hanya sekedar menyapa wanita berumur 30 tahunan itu.
“Oppa sedang sibuk?”
“Ani. Aku baru saja selesai berjaga malam. Sebentar lagi aku akan pulang.”
“Oh...” Yeonju mengangguk canggung. Selalu seperti ini saat mereka berdua bertemu. Lain halnya jika Hyosun berada ditengah-tengah, sudah pasti suasana akan berubah.
“Apakah tadi malam terjadi sesuatu?” tanya Onew yang tiba-tiba membuat Yeonju terkejut.
“Ne?”
“Kuperhatikan wajahmu sedikit pucat. Dan...” Onew melihat Yeonju lebih detail lagi. “Pakaian yang kau pakai juga tidak seperti biasanya.”
Wajah Yeonju terlihat pucat seperti ini pasti karena hujan-hujanan kemarin. Dan soal baju, sudah pasti karena baju ini milik Minho.
“Oh ini...” Yeonju menunduk melihat pakaiannya sekilas kemudian menatap Onew lagi. Ia ingin menceritakan semuanya, tapi ia takut namja didepannya ini akan salah faham. Apalagi jika Hyosun sampai tahu, bisa-bisa kehidupan Yeonju dan Minho tidak akan tenang setelah ini.
“Hatchii! (??)” Tiba-tiba Yeonju bersin ketika sedang sibuk berfikir.
“Apa ku bilang... Sebaiknya kau pulang saja Yeonju. Biar kuantarkan.”
“Tidak usah Oppa. Aku tidak apa-apa.”
Onew justru tersenyum, “Kau tidak bisa berbohong soal kesehatanmu pada seorang calon dokter sepertiku Yeonju. Apa perlu kau kubawa ke dokter umum untuk memeriksamu?” lanjutnya bercanda.
Yeonju justru menerima kalimat itu dengan serius. Wajahnya berubah panik. Ia ingin menuruti saran Onew tapi disisi lain ia tidak sanggup meninggalkan ummanya begitu saja. Lagipula dari kemarin Yeonju belum menjenguknya karena sibuk mengajari Minho.
“Tidak usah kuatir. Ummamu baru saja menyelesaikan sarapan pagi. Kau bisa menjenguknya nanti setelah kau merasa baikan.” Ucap Onew meyakinkan. “Kalau begitu tunggulah didepan, aku akan mengambil mobil di area parkir.”
Yeonju terdesak, dan hanya sanggup mengangguk pasrah menuruti saran Onew. Lagipula ini memang untuk kebaikannya sendiri.
Selama perjalanan Yeonju hanya diam. Suasana masih terasa canggung meski Onew sudah memutarkan lagu-lagu ceria didalam mobil. Entah kenapa Yeonju sulit untuk menemukan bahan pembicaraan, sesekali ia hanya mengerjap-erjapkan mata karena entah kenapa pandangannya kini terasa mengabur.
“Gwenchanayo?” tanya Onew ketika mereka berhenti sejenak di lampu merah.
Yeonju mengangguk seadaanya, berusaha tetap duduk tegak agar tidak terlalu ketara kalau tubuhnya sedang lemas sekarang.
“Kau sedang flu...” Ucap Onew kemudian meraih botol minum dari bangku belakang. “...karena itu kau harus banyak minum air putih.” Onew tampak begitu perhatian meski Yeonju sama sekali tidak pernah memintanya.
10  menit kemudian mereka tiba di apartemen Yeonju. Onew yang sudah beberapa kali diajak Hyosun kesana tampak tidak asing di tempat sederhana itu. Melihat kondisi Yeonju yang seperti sekarang membuat namja itu mendadak tidak tega jika harus meninggalkannya. Apalagi Yeonju seorang diri. Onew takut kalau-kalau ada hal buruk terjadi meski Yeonju mengaku dia baik-baik saja.
“Oppa mau minum apa?” Yeonju masih sempat bertanya pada Onew padahal sudah jelas-jelas sekarang Onew sedang tidak bertamu.
“Aku bisa mengambilnya sendiri jika aku mau.” Tolaknya dengan halus. “Apakah kau sudah sarapan? Aku akan membelikanmu makanan sebelum ke apotek jika kau belum makan.”
“Oh aku sudah sarapan.” Yeonju berbohong. “Dan aku juga masih punya beberapa obat yang bisa kuminum.”
Kemudian Onew meraih kotak diatas kulkas yang biasa dijadikan Yeonju tempat obat-obatan. Ia menemukan beberapa obat disana dan mengamatinya satu persatu.
“Ini sudah kadaluarsa...”
Yeonju terkesiap.
“...kau tidak perlu merasa tidak enak padaku Yeonju. Lagipula sudah seharusnya aku membantumu.” Ucap Onew yang langsung membuat Yeonju menyesal telah mengecewakan namja itu. “Sebaiknya kau beristirahat saja sekarang. Aku akan kembali secepatnya.”
Bahu Yeonju menurun melihat kepergian Onew. Dia paling tidak suka jika harus terus merepotkan orang lain. Sepertinya hidup Yeonju hanya untuk bergantung dengan orang lain, terutama Hyosun... dan kini Onew.
‘Sampai kapan kau bisa berguna untuk orang lain Yeonju...’ batinnya menghela nafas panjang.
Belum sempat Yeonju menyandarkan punggungnya di sofa ruang tengah sambil berfikir, tiba-tiba pintu depan terbuka.
‘Onew Oppa cepat sekali perginya...’
Tapi yang berdiri disana bukan Onew. Lagipula Onew tidak tahu berapa kode pasword untuk bisa membuka pintu apartemen Yeonju, kalaupun iya, dia juga tidak mungkin tidak mengetuk pintu lebih dahulu.
“Yeonju...”
Yeonju hafal benar dengan suara yang terdengar lembut itu. Cepat-cepat ia bangkit menghampiri yeoja yang sudah menjadi sahabatnya bertahun-tahun ini.
“Apa ada Onew Oppa disini? Aku baru saja menemukan mobilnya terparkir dibawah.”
Yeonju berdiri kaku. Nafasnya tiba-tiba saja berhenti, bibirnya terkatup rapat tak sanggup menjawab pertanyaan sederhana itu.
Haruskah Hyosun salah faham seperti ini untuk yang kedua kalinya?
-To Be Continue-

Jreeng jreeeng jrengg. Apa ini?
Hehe mian kalo ceritanya masih flat-flat aja, soalnya rencananya mau dibikin rada panjang, jadi save the best for the last kan? *opo iki?
Hohoho tentang karakter Minho, aku pengen ngejelasin sesuatu. Di ff ini aku bikin karakter Minho ngga cool & pendiem kaya Minho dulu, tp lebih ke karakter Minho sekarang yang nyante, rada nyablak(?), dan sebenernya kalo ngejekin orang suka ngga kira2. Wkwk (silakan diliat di variety show shinee yang terbaru.)
Intinya di ff ini Minhonya aku bikin jadi cowok yang freedom(?), ngga kaku dan going with the flow (alias easy going). *apa pula ini?
Ada sedikit fact minho yang aku pake, yaitu tentang profesi umma minho yang merupakan seorang fotografer dan Minho menjadi model pertamanya. *yang aku tahu sih begituuu.
Dannnn, apakah kepercayaan Hyosun pada Yeonju akan berkurang? Bagaimana reaksi Hyosun saat tahu Onew sangat perhatian pada Yeonju? Apakah sebenarnya Onew menyukai Yeonju? Dan jangan lupakan permusuhan antara Onew dan Minho (yang tidak tahu kalo Onew pacar Hyosun). *ribet amat.
Semoga next part ga terlalu lama. Hehe.
Daaaaaaannnn (lagi) kemaren aku iseng bikin trailer fuchsia! gomawo buat lanti yang masih mau mentransletekan. harap maklum aku ga jago bahasa inggris :p. kekeke ini dia trailernya >>>


 dan ada beberapa poin di trailer itu yang belum nongol di part ini. Hehe jangan lupa ditonton ya.
Terakhir, gomawo buat RCLnya. Muaaaaaaaaaahhhh. *lempar sepatu boots Minho ._.

3 comments:

  1. ho... Daebak. Aku baca ceritanya sambil ngebayangin karakter barunya Minho di Shinhwa broadcast... Cocok cocok... Daebak eonnie. Ditunggu next partnya yaaa

    ReplyDelete
  2. keren crta nya..
    tpi aku pnsran bget niiiiiii...
    smga crta slnjut nya cpet keluar amin..

    ReplyDelete
  3. eonni, ceritanya masih bingung aku -_-
    tapi semoga part selanjutnya ngga lama :D

    ReplyDelete